I.
PENDAHULUAN
Menurut ajaran Islam, anak adalah amanah dari
Allah swt yang harus dijaga dan dilindungi. Sebagai amanah anak harus dijaga
sebaik mungkin oleh yang memegangnya, yaitu orang tua. Anak adalah manusia yang
memiliki nilai kemanusiaan yang tidak bisa dihilangkan dengan alasan apapun.
Istilah anak sering disebutkan dalam Al-qur’an dengan kata al-walad
(jamaknya al-awlad) yang berarti anak yang dilahirkan orang tuanya,
laki-laki maupun perempuan, besar atau kecil, tunggal maupun banyak. Karenanya
jika anak belum lahir belum dapat disebut al-walad atau al-mawlud,
tetapi disebut janin yang berarti al-matsur (tertutup) dan al-khafy
(tersembunyi) di dalam rahim ibu.
Islam
membagi anak yang lahir menjadi dua status, yaitu anak syar’iy dan anak thabi’iy.
Anak syar’iy adalah anak dimana hukum menetapkan adanya hubungan nasab
antara anak dan orang tua laki-lakinya. Sedangkan anak thabi’iy adalah
anak dimana secara hukum anak dianggap tidak memiliki hubungan nasab dengan
orang tua laki-lakinya. Untuk itu, dalam makalah ini kami para pemakalah akan
menjelaskan mengenai perhitungan faraidh
bagi anak dalam kandungan, anak zina, dan anak li’an.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana perhitungan harta warisan anak dalam kandungan?
B.
Bagaimana perhitungan harta warisan anak zina?
C.
Bagaimana perhitungan harta warisan anak li’an?
III.
PEMBAHASAN
A.
Harta Warisan Anak dalam Kandungan
Kandungan (hamlu) adalah anak yang masih di dalam kandungan
ibu, baik laki-laki atau perempuan. Telah diketahui bersama bahwa syarat
memberikan harta warisan kepada siapapun harus benar-benar hidup ketika pewaris
meninggal dunia. Oleh karena itu, yang disebut kandungan adalah anak yang masih
dalam rahim ibu dan belum diketahui sifat dan keadaannya.[1]
Dalam hukum Islam, bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya,
jika muwarrits-nya meninggal dunia, termasuk ahli waris yang berhak
menerima bagian warisan, sama seperti ahli waris lainnya. Namun demikian,
karena keadaannya masih dalam kandungan belum bisa dipastikan apakah akan lahir
hidup atau mati. Demikian pula belum dapat diketahui secara persis jenis
kelaminnya. Untuk menentukkan berapa bagian yang akan diterimanya, ada beberapa
pertimbangan yang perlu diketahui.[2]
Pasal 250 BW menyatakan, bahwa anak sah adalah anak yang lahir atau
tumbuh selama adanya perkawinan. Bunyi lengkap Pasal 250 BW adalah sebagai
berikut:
Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang
perkawinan memperoleh si suami sebagai
bapaknya.
Anak sah memiliki kedudukan yang paling tinggi di mata hukum, sebab
anak sah menyandang seluruh hak yang difasilitasi oleh hukum. Diantara hak istimewa anak sah terlihat antara lain
dalam kedudukannya sebagai hak waris yang berada dalam level tertinggi di
antara golongan-golongan ahli waris lainnya. Selain hak waris, anak sah juga
mendapatkan legitimasi dalam struktur hak sosial, image, dan lain-lain. Pasal
99 KHI menyatakan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
perkawinan yang sah, dan hasil suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan
oleh istri tersebut.[3]
Mayoritas ulama berpendapat, bahwa bayi dalam kandungan dapat
menerima hak-hak warisnya apabila bayi lahir dalam keadaan hidup. Salah satu
indikasinya adalah ketika lahir, bayi tersebut berteriak atau menangis.
Sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah r.a yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
اِذَا اِسْتَهَلَّ
الْمَوْلُوْدُ وُرِّثَ (رواه أصحاب السنن)
“Apabila bayi yang dilahirkan itu
berteriak, maka ia diberi bagian warisan.” (Riwayat Ashab al-Sunan).
Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab Al-Musnad
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لَ يَرِثُ الصَّبِيُّ حَتَّى يَسْتَهِلَّ رواه أحمد)
“Bayi tidak bisa menerima bagian warisan sehingga ia berteriak
(menangis).” (Riwayat
Ahmad)
Kedua hadis tersebut menunjukkan bahwa bayi berhak dapat menerima
hak-hak warisnya apabila sudah lahir dan hidup. Hal ini dapat menimbulkan
persoalan, bagaimana jika ahli waris lainnya menghendaki harta peninggalan si
mati segera dibagi, sementara untuk menunggu kelahiran bayi dalam kandungan
harus menunggu terlalu lama. Lagipula, jikalau segera dibagi, jenis kelamin
bayi belum diketahui secara pasti, akankah lahir normal atau boleh jadi sebagai
khunsa musykil.
Oleh karena itu, hal-hal yang perlu diketahui dalam kaitannya
dengan masalah pembagian warisan bayi
dalam kandungan adalah:
Pertama,
mengetahui batas minimal dan maksimal usia bayi dalam kandungan. Para ulama
sepakat bahwa batas minimal usia bayi di dalam kandungan adalah enam bulan
dihitung dari saat akad nikah dilangsungkan. Dasarnya adalah firman Allah swt:
وَحَمْلُهُ
وَفِصَالُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا ... (الأحقاف ١٥)
...
mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan ... (Q.S Al-Ahqaf [46] : 15)
... حَمَلَتْهُ
أُمُّهُ وِهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِى عَا مَيْنِ ... (لقمن ١٤)
... ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun ... (Q.S Luqman [31] : 14)
Kedua ayat tersebut di atas, oleh Ibn ‘Abbas dan diikuti dengan
kesepakatan para Ulama, ditafsirkan bahwa ayat pertama menunjukkan
tenggang waktu mengandung (kehamilan) dan menyapih adalah tiga puluh bulan.
Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi disusuinya secara
sempurna membutuhkan waktu dua atau sama dengan dua puluh empat bulan. Artinya,
bayi membutuhkan waktu sekurang-kurangnya 30-24 bulan = 6 bulan.
Pendapat ulama yang lain mengatakan bahwa batas minimal usia bayi
di dalam kandungan adalah sembilan bulan Qamariyah (± 270 hari). Ini adalah
pendapat Ibn al-Humam dan sebagian ulama Hanabilah, yang kemudian diikuti oleh
Kitab Undang-Undang Warisan Mesir.
Adapun batas maksimal usia bayi di dalam kandungan para Ulama
berbeda pendapat. Batasan ini dihitung dari putusnya perkawinan sampai dengan
kelahiran anak. Karena usaha untuk mengetahui
batas maksimal usia bayi dalam kandungan tersebut dimaksudkan untuk
menentukan nasabnya kepada siapa akan dihubungkan kekerabatannya.
Ada Ulama yang menetapkan bahwa batas maksimal usia bayi dalam
kandungan adalah satu tahun Qamariyah, ada yang berpendapat satu tahun Syamsiyah,
ada yang mengatakan dua tahun, tiga tahun, bahkan ada yang menyatakan lima
tahun.
Al-Laits ibn Sa’ad mengatakan bahwa batas maksimal bayi di dalam
kandungan adalah tiga tahun. Ulama
Syafi’iyah dan Imam Ahmad ibn Hanbal menetapkannya empat tahun. Ulama Malikiyah
menetapkan batas waktu yang lebih lama yaitu lima tahun.
Kedua,
memberi bagian yang lebih menguntungkan dari perkiraan-perkiraan jenis
kelamin bayi, dan bila mungkin juga ada perkiraan bayi akan lahir tunggal atau
kembar.
Pemberian bagian yang lebih menguntungkan dari dua perkiraan,
dimaksudkan agar apabila bayi lahir ternyata meleset dari perkiraan semula,
maka bagian warisan yang disediakannya tetap mencukupi, dan tidak akan sedikit
pun mnegurangi hak-haknya. Sebaliknya,
jika ada kelebihan dari yang seharusnya diterima, dapat dibagikan kepada ahli
waris lainnya menurut ketentuan hukum
yang berlaku.[4]
Apabila para ahli waris telah sepakat untuk menunda pembagian waris
sampai janin dalam kandungan itu lahir, tidak menimbulkan masalah. Karena kelahiran
anak itu dapat membantu penyelesaiannya apakah ia lahir dalam keadaan hidup
atau mati, apakah ia laki-laki atau perempuan dan apakah hanya seorang diri
atau kembar. Tetapi yang menjadi masalah, bila ahli waris menghendaki
disegerakan untuk pembagian harta waris. Mengenai hal ini, Al-Qaffal, seorang
ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa peninggalan mayit harus ditahan dulu sampai
anak yang masih dalam kandungan itu lahir, kendati para ahli waris menginginkan untuk segera dibagikan.
Jumhur ulama memerinci sebagai berikut:
1.
Bila sang jabang bayi mewarisi secara bersama-sama dengan orang
yang tidak akan menerima pusaka, seperti saudaranya mayit, maka saudaranya itu
tidak diberikan sedikitpun, karena jabang bayi dalam kandungan itu akan
dianggap berjenis kelamin laki-laki yang bakal menerima seluruh harta peninggalan secara ushbah.
2.
Bila sang jabang bayi mewarisi secara bersama-sama dengan ahli
waris yang ashabul-furudhnya tidak pasang surut, maka ahli waris
tersebut menerima pusaka sesuai dengan furudhnya masing-masing dan
jabang bayi dalam kandungan menerima sisanya. Semisal ahli waris terdiri dari
ibu, istri, dan anak dalam kandungan. Ibu mendapat 1/6 dan istri 1/8.
3.
Bila sang jabang bayi mewarisi secara bersama-sama ahli waris yang furudhul
muqaddarahnya dapat pasang surut, maka ahli waris tersebut diberikan bagian
sesuai dengan furudhnya yang terkecil dan anak dalam kandungan diberikan
bagian yang terbesar di antara dua perkiraan laki-laki dan perempuan.
Cara
penyelesaiannya adalah dengan memperkirakan jenis kelaminnya laki-laki atau
perempuan kemudian dipilih bagian yang terbesar, agar warisan yang
disediakannya mencukupi dan tidak akan mengurangi hak-haknya. Sebaliknya jika
ada kelebihan dapat dibagi oleh ahli waris lainnya menurut ketentuan yang berlaku.[5]
Contoh dan
penyelesainnya
1.
Seorang ahli waris terdiri dari ibu, bapak, dan istri yang sedang
hamil. Berapa harta yang disediakan untuk bayi dalam kandungan jika harta
peninggalan Rp. 480 juta.
Diperkirakan
anak perempuan (tunggal),
Ibu 1/6 : 4/24
x Rp. 480 juta = Rp. 80 juta.
Bapak 1/6 +
sisa : 4/24 x Rp. 480 juta = Rp. 80 juta.
Istri 1/8 :
3/24 x Rp. 480 juta = Rp. 60 juta.
Anak perempuan
tunggal ½ : 12/24 x Rp. 480 juta = Rp. 240 juta.
Sisa Rp. 30
juta untuk bapak.
Diperkirakan
anak laki-laki (tunggal),
Ibu 1/6 : 4/24
x Rp. 480 juta = Rp. 80 juta.
Bapak 1/6 :
4/24 x Rp. 480 juta = Rp 80 juta.
Istri 1/8 :
3/24 x Rp. 480 juta = Rp. 60 juta.
Anak laki-laki ashabah
(sisa) : 13/24 x Rp. 480 juta = Rp. 260 juta.
Dari dua
perkiraan di atas, perkiraan laki-laki yang terbesar yaitu Rp. 260 juta. Inilah
yang harus disediakan untuk bayi yang lahir. Tetapi jika ternyata yang lahir
anak perempuan. Bayi perempuan mendapat Rp. 240 juta. Sisanya untuk bapak.
2.
Ahli waris terdiri dari suami dan ibu yang sedang hamil. Berapa
bagian masing-masing jika harta peninggalan Rp. 480 juta?
Jika
diperkirakan anak perempuan (tunggal),
Suami ½ : 3/6
menjadi ‘aul 3/8 : Rp. 480 juta = Rp. 180 juta.
Ibu 1/3 : 2/6 :
2/8 x Rp. 480 juta = Rp. 120 juta.
Saudara
perempuan sekandung ½ : 3/6 : 3/8 x Rp.
480 juta = Rp. 180 juta.
Jika
diperkirakan laki-laki (tunggal),
Suami ½ : 3/6 x
Rp. 480 juta = Rp. 240 juta.
Ibu 1/3 : 2/6 x
Rp. 480 juta = Rp. 160 juta.
Saudara
laki-laki sekandung ashabah (sisa) 1/6 x Rp. 480 juta = Rp. 80 juta.
Jika
diperkirakan kembar perempuan,
Suami ½ : 3/6 :
menjadi ‘aul 3/8 x Rp. 480 juta = Rp. 180 juta.
Ibu 1/6 : 1/8 x
Rp. 480 juta = Rp. 60 juta.
2 saudara
perempuan sekandung 2/3 : 4/6 : 4/8 x Rp. 480 juta = Rp. 240 juta.
Jika
diperkirakan kembar laki-laki,
Suami ½ : 3/6 x
Rp. 480 juta = Rp. 240 juta.
Ibu 1/6 x Rp.
480 juta = Rp. 80 juta.
2 saudara
sekandung laki-laki ashabah 2/6 x Rp. 480 juta = Rp. 160 juta.
Dari empat
perkiraan di atas, yang terbesar adalah bagian yang diperkirakan kembar perempuan,
yaitu RP. 240 juta. Jika ternyata bayi itu lahirlaki-laki, maka bayi itu
mendapat Rp. 80 juta. Adapun sisanya dibagi untuk suami dan ibu.[6]
Dalam
buku Fiqh Mawaris karya Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M. A, juga dikemukakan
contoh penyelesaian perhitungan pembagian warisan kepada bayi dalam kandungan,
yaitu:
Ahli
waris terdiri dari suami, anak, perempuan dan ibu yang sedang hamil. Harta
warisan yang ditinggalkan sejumlah Rp. 12.000.000,-. Bagian masing-masing
adalah:
1.)
Perkiraan perempuan:
Ahli Waris
|
Bag
|
AM
|
HW
|
Penerimaan
|
|
|
12
|
Rp. 12.000.000,-
|
|
Suami ¼
|
3
|
3/12 x
|
Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 3.000.000,-
|
Anak Pr ½
|
6
|
6/12 x
|
Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 6.000.000,-
|
Ibu 1/6
|
2
|
2/12 x
|
Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 2.000.000,-
|
Saudara Pr 1
|
1
|
1/12 x
|
Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 1.000.000,-
|
|
12
|
|
Jumlah
|
Rp. 12.000.000,-
|
2.)
Perkiraan laki-laki:
Ahli Waris
|
Bag
|
AM
|
HW
|
Penerimaan
|
|
|
12
|
Rp. 12.000.000,-
|
|
Suami 1/4
|
3
|
3/12 x
|
Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 3.000.000,-
|
Anak Pr ½
|
6
|
6/12 x
|
Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 6.000.000,-
|
Ibu 1/6
|
2
|
2/12 x
|
Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 2.000.000,-
|
Sdr Laki-laki ‘as
|
1
|
1/12 x
|
Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 1.000.000,-
|
|
12
|
|
Jumlah
|
Rp. 12.000.000,-
|
Jadi,
baik dalam perkiraan perempuan maupunlaki-laki diperoleh hasil yang sama, yaitu
si bayi mendapat bagian Rp. 1.000.000,-. Dalam keadaan demikian,bagian yang
disediakan untuk si bayi dapat diklasifikasikan sebagai bagian yang pasti.
3.)
Perkiraan kembar perempuan:
Ahli Waris
|
Bag
|
AM
|
HW
|
Penerimaan
|
|
|
12
|
Rp. 12.000.000,-
|
|
Suami 1/4
|
3
|
3/12 x
|
Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 3.000.000,-
|
Anak Pr ½
|
6
|
6/12 x
|
Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 6.000.000,-
|
Ibu 1/6
|
2
|
2/12 x
|
Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 2.000.000,-
|
2 Sdr Pr ‘as
|
1
|
1/12 x
|
Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 1.000.000,-
|
|
12
|
|
Jumlah
|
Rp. 12.000.000,-
|
4.)
Dalam perkiraan kembar laki-laki akan diperoleh hasil yang sama
karena posisinya baik laki-laki atau perempuan adalah penerima ‘ashabah.[7]
B.
Harta Warisan Anak Zina
Apabila
seseorang telah terang ada hubungan darahnya dengan ibu-bapaknya, maka dia mewarisinya
selama tidak ada suatu penghalang pusaka dan selama syarat-syarat pusaka telah
cukup sempurna, dan tidak dapat seseorang dipandang mempunyai hubungan darah
dengan ayah saja tanpa ibu.
Yang
dapat dipandang ada, ialah hubungan darah dengan ibu saja, tidak dengan ayah.
Seperti pada anak zina dan anak li’an. Syara’ telah menetapkan
bahwa kedua-dua anak ini dibangsakan kepada ibunya dan tidak diakui hubungan
darahnya dengan si ayah. Oleh karenanya, tidak ada hubungan kekerabatan antara
anak itu dengan ayahnya.[8]
Anak
zina yaitu anak yang lahir dari hasil perzinaan, atau anak lahir di luar
perkawinan yang sah menurut ketentuan agama Islam. Pengertian ini dengan sangat
tegas menyatakan bahwa yang menjadi aturan adalah hukum agama. Maksudnya, harus
dibedakan misalnya, seorang perempuan yang tidak pernah diketahui melangsungkan
akad nikah, ternyata tiba-tiba hamil. Untuk kepentingan formal yuridis, supaya
bayi yang akan lahir mempunyai “bapak”, maka dicarikanlah calon bapak untuk si
bayi. Dalam contoh tersebut, seseorang
perlu berhati-hati dalam menetapkan hukum nikah tersebut.[9]
Adapun
anak zina merupakan anak dalam kelompok atau golongan paling rendah
kedudukannya di mata hukum bahkan sosial. Anak zina merupakan jenis anak luar
kawin dalam pengertian luas (anak tidak sah). Sesuai pasal 44 UUP bahwa seorang
suami memiliki hak untuk mengingkari anak yang dilakukan oleh istrinya jika dia
dapat membuktikan bahwa istrinya berbuat zina, dan anak tersebut sebagai akibat
dari perbuatan zina tersebut.[10]
Jika
melihat beberapa pasal dalam KHI, seolah anak di luar perkawinan atau anak tidak
sah termasuk anak zina telah berhak atas warisan. Namun, pasal tentang hak
waris anak masih berlanjut yaitu dengan adanya Pasal 186 KHI yang menyatakan:
Pasal
186
Anak
yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan
ibunya dan keluarganya dari pihak ibunya.
Berdasarkan
Pasal 186 KHI di atas, maka semakin jelas bahwa UUP dan KHI memiliki kesamaan
dalam menetapkan kedudukan dan hak anak di luar perkawinan atau hak anak hasil
perkawinan tidak sah.[11]
Dalam
‘urf modern dinamakan wa’ad ghairu syar’i (anak yang tidak diakui
agama). Sebagaimana ayahnya dinamakan ayah ghairu syar’i. Oleh karena
anak zina, baik lelaki ataupun perempuan, tidak diakui hubungan darah dengan
ayahnya, maka dia tidak mewarisi ayahnya dan tidak pula dari seseorang kerabat
ayah, sebagaimana ayahnya tidak mewarisinya, lantaran tidak ada sebab saling
mempusakai antara keduanya, yaitu hubungan darah. Oleh karena anak zina itu
diakui hubungan darahnya dengan ibunya, maka dia mewarisi ibunya, sebagaimana
dia mewarisi kerabat-kerabat ibunya, demikian pula sebaliknya. Maka apabila
meninggal seorang anak yang diakui agama, dengan meninggalkan ibunya dan
ayahnya yang tidak diakui agama, maka semua harta peninggalan untuk ibunya
dengan jalan fardhu dan dengan jalan radd.
Dan
jikalau dia meninggal dengan meninggalkan seorang ibu, saudara lelaki seibu dan
saudara lelaki dari ayahnya yang tidak diakui agama, maka semua harta
peninggalan adalah untuk ibunya dan saudara seibu dengan jalan fardhu dan
jalan radd. Apabila ibunya meninggal, atau meninggal salah seorang
kerabat ibu, maka anak yang ghairu syar’i itu menerima pusaka dari
ibunya dan kerabat-kerabat ibunya.
Dalam
hal ini dipegang kaidah-kaidah yang umum terhadap pusaka. Dan apabila ayah yang
bukan syar’i meninggal atau salah seorang kerabatnya, maka anak yang
bukan syar’i tidak menerima pusaka darinya.[12]
C.
Harta Warisan Anak Li’an
Li’an adalah sumpah seorang suami yang menuduh istrinya
berbuat zina, bahwa ia akan menerima laknat Allah swt., apabila tuduhannya
terhadap istrinya berzina ternyata tidak benar. Apabila perzinaan yang
dituduhkan suami terhadap istrinya itu benar dan kemudian melahirkan anak, maka
anak tersebut dinamakan anak li’an.[13]
Li’an
dalam istilah fuqaha, ialah suatu
kondisi yang berlaku di antara suami-istri di muka pengadilan, yaitu pengucapan
pensaksian dengan lafal-lafal yang khusus. Dinamakan pensaksian ini dengan li’an, karena di dalamnya terdapat
kalimat la’nat (pengutukan) pada kali
yang kelima.
Anak
li’an ialah anak yang dilahirkan oleh
seorang istri di atas tempat tidur
suaminya sedang diapun masih dalam ‘ishmah
suaminya yang diakui syara’, tetapi
si suami mengatakan bahwa anak itu bukan anaknya.
Apabila
seorang suami mengingkari hubungan darah dengan anak yang dilahirkan oleh istrinya di masa istri itu terikat pernikahan
dengannya, sedang si suami tidak mempunyai bukti yang membenarkan tuduhannya
bahwa istrinya berzina dan cukup pula syarat-syarat li’an yang sudah dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih, maka
suami-istri itu ber-li’an dihadapan
hakim untuk menghindari hukuman tukas (qadzaf),
dari suami dan hukuman zina dari istri, dengan cara yang tersebut di bawah ini:
Suami
mula-mula bersaksi di hadapan hakim dengan empat pensaksian, yaitu dengan
mengucapkan asyhadu billahi inni laminash shadiqin (saya bersaksi dengan Allah, sesungguhnya saya adalah
orang-orang yang benar tentang apa yang saya tuduhkan kepada istri saya, yaitu
zina).
Dan
pada kali yang kelima dia mengatakan: la’natullahi
‘alaiya inkuntu minal kadzibin (kutukan Tuhan atasku jika aku seorang yang dusta
tentang tuduhanku ).
Kemudian
istrinya bersaksi dengan empat pensaksian pula dengan mengucapkan: asyhadu billahi innahu la minal kadzibin
(saya bersaksi dengan Allah, sesungguhnya dia adalah dari orang-orang yang
berdusta terhadap tuduhannya atas diriku), dan pada kali yang kelima dia mengatakan ghaddabullahi alaiya in kana
minash shadiqin (Kemarahan Allah atas diriku, jika dia (suami) dari orang
yang benar dalam tuduhannya).
Apabila
telah sempurna ucapan li’an ber-li’an antara suami-istri di hadapan
pengadilan, maka hakim pun menetapkan mereka berpisah dan menghubungkan anak
itu kepada ibunya serta menetapkan, bahwa tidak ada hubungan darah antara anak
itu dengan ayahnya.
Hukum
anak li’an dalam pusaka, sama dengan
hukum anak zina, karena itu, dia menerima pusaka dari ibunya dan dari
kerabat-kerabat ibunya, demikian pula sebaliknya.
Tak
ada pusaka antara anak li’an dengan
ayahnya dan kerabat-kerabatnya, karena hakim telah menetapkan bahwa anak itu
tidak mempunyai hubungan darah dengan ayahnya dan menghubungkannya dengan
ibunya.
Disyaratkan
pada pusaka anak zina dan li’an dari
kerabat ibu ialah mereka dilahirkan dalam tempo sembilan bulan (270 hari)
paling lama, dari tanggal muwaris
kerabat ibunya wafat supaya dapat dipastikan bahwa anak itu telah ada di waktu muwaris-nya meninggal. Dan jika ia
dilahirkan sesudah lewat 9 bulan sesudah muwaris
meninggal, maka dia tidak menerima pusaka dari muwaris-nya itu.[14]
1. Ahli waris terdiri dari nenek, anak
perempuan (tidak sah), cucu perempuan dari anak perempuan. Harta warisan Rp.
180 juta. Berapa bagian mereka masing-masing?
a. Menurut Imam Malik dan Syafi’i
Nenek 1/6 x Rp. 180 juta = Rp. 30 juta.
Anak perempuan
(tidak sah) ½ : 3/6 x Rp. 180 juta = Rp. 90 juta.
Sisanya adalah Rp. 180 juta – Rp.
120 juta = Rp. 60 juta diserahkan ke baitul mal.
Cucu perempuan
tidak dapat karena dzawil-arham.
b. Menurut Abu Hanifah
Dzawil-arham
harus didahulukan daripada baitul mal.
Nenek 1/6 x Rp. 180 juta = Rp. 30
juta.
Anak perempuan (tidak sah) ½ : 3/6
x Rp. 180 juta = Rp. 90 juta.
Cucu perempuan dari anak perempuan ashabah
(sisa) 2/6 x Rp. 180 juta = Rp. 60 juta.
2.
Ahli
waris terdiri dari suami, bapak, dan anak laki-laki tidak sah. Harta warisan
Rp. 12 milyar. Berapa bagian mereka masing-masing?
Suami ¼ : 3/12 x Rp. 12 milyar =
Rp. 3 milyar.
Bapak 1/6 : 2/12 x Rp. 12 milyar =
Rp. 2 milyar.
Anak laki-laki
tidak sah ashabah (sisa) 7/12 x Rp. 12 milyar = Rp. 7 milyar.[15]
Implikasi hukum dari anak Zina dan anak mula’anah adalah sebagai
berikut:
1.
Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, dan nafaqah
dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
2.
Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah
dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3.
Jika li’an itu terbukti, maka seorang anak akan berubah
statusnya menjadi anak yang tidak sah (mula’anah) dan kedudukannya di mata
hukum sama dengan anak hasil zina, dimana dia hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan terhadap laki-laki yang
mengingkarinya dengan li’an tidak memiliki hubungan apa-apa.
Implikasi
dari tidak adanya hubungan anak dengan ayah akan sangat kelihatan dalam
beberapa aspek yuridis, dimana laki-laki yang secara biologis adalah ayah
kandungnya itu berkedudukan orang lain, sehingga tidak wajib memberi nafkah,
tidak ada hubungan waris-mewarisi, bahkan seandainya anak zina itu perempuan,
“ayah” kandungnya tidak diperbolehkan berduaan dengannya, serta laki-laki
pezina itu tidak menjadi wali dalam pernikahan anak perempuan zinanya, sebab
antara keduanya tidak ada hubungan sama sekali dalam syari’at Islam.[16]
IV.
KESIMPULAN
a.) Dalam hukum
Islam, bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya, jika muwarrits-nya
meninggal dunia, termasuk ahli waris yang berhak menerima bagian warisan, sama
seperti ahli waris lainnya. Namun demikian, karena keadaannya masih dalam
kandungan belum bisa dipastikan apakah akan lahir hidup atau mati. Demikian
pula belum dapat diketahui secara persis jenis kelaminnya. Untuk menentukkan
berapa bagian yang akan diterimanya, ada beberapa pertimbangan yang perlu
diketahui.
b.) Apabila seseorang telah terang ada
hubungan darahnya dengan ibu-bapaknya, maka dia mewarisinya selama tidak ada
suatu penghalang pusaka dan selama syarat-syarat pusaka telah cukup sempurna,
dan tidak dapat seseorang dipandang mempunyai hubungan darah dengan ayah saja
tanpa ibu.
Yang dapat dipandang ada, ialah
hubungan darah dengan ibu saja, tidak dengan ayah. Seperti pada anak zina
dan anak li’an. Syara’ telah menetapkan bahwa kedua-dua anak ini
dibangsakan kepada ibunya dan tidak diakui hubungan darahnya dengan si ayah.
Oleh karenanya, tidak ada hubungan kekerabatan antara anak itu dengan ayahnya.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah ini penulis susun. Pemakalah berharap kepada pembaca untuk memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi lebih baiknya makalah
selanjutnya. Semoga ini berguna bagi pemakalah pada khususnya juga para pembaca
pada umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Teungku
Muhammad Hasbi. 2010. Fiqh Mawaris.
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Hasbiyallah.
2007. Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mardani. 2014. Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Muhammad,
Bahruddin. 2014. Hak Waris Anak di Luar Perkawinan. Semarang: Fatawa
Publishing.
Muhibbin.
2009. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika.
Rofiq, Ahmad
2012. Fiqh Mawaris ed. Rev. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
[1] Muhibbin, Hukum
Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2009), hlm. 132.
[3] Bahruddin
Muhammad, Hak Waris Anak di Luar Perkawinan, (Semarang: Fatawa
Publishing, 2014), hlm. 287-288.
[4] Ahmad Rofiq, Fiqh
Mawaris ed. Rev, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 149-156.
[6] Hasbiyallah, Belajar
Mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 82-85.
[7] Ahmad Rofiq, Fiqh
Mawaris ed. Rev, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 159-160.
[8] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2010), hlm. 252-253.
[9] Ahmad Rofiq, Fiqh
Mawaris ed. Rev, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 160.
[10] Bahruddin Muhammad, Hak Waris Anak di Luar Perkawinan,
(Semarang: Fatawa Publishing, 2014), hlm. 57.
[11] Bahruddin Muhammad, Hak Waris Anak di Luar Perkawinan,
(Semarang: Fatawa Publishing, 2014), hlm. 306.
[12] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2010), hlm. 252-253.
[14] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh
Mawaris, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010), hlm. 253-254.
[16] Mardani, Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 104-105.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar