Jumat, 12 Desember 2014

Perhitungan harta warisan anak dalam kandungan, anak zina, dan anak lian

I.         PENDAHULUAN
 Menurut ajaran Islam, anak adalah amanah dari Allah swt yang harus dijaga dan dilindungi. Sebagai amanah anak harus dijaga sebaik mungkin oleh yang memegangnya, yaitu orang tua. Anak adalah manusia yang memiliki nilai kemanusiaan yang tidak bisa dihilangkan dengan alasan apapun. Istilah anak sering disebutkan dalam Al-qur’an dengan kata al-walad (jamaknya al-awlad) yang berarti anak yang dilahirkan orang tuanya, laki-laki maupun perempuan, besar atau kecil, tunggal maupun banyak. Karenanya jika anak belum lahir belum dapat disebut al-walad atau al-mawlud, tetapi disebut janin yang berarti al-matsur (tertutup) dan al-khafy (tersembunyi) di dalam rahim ibu.
Islam membagi anak yang lahir menjadi dua status, yaitu anak syar’iy dan anak thabi’iy. Anak syar’iy adalah anak dimana hukum menetapkan adanya hubungan nasab antara anak dan orang tua laki-lakinya. Sedangkan anak thabi’iy adalah anak dimana secara hukum anak dianggap tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua laki-lakinya. Untuk itu, dalam makalah ini kami para pemakalah akan menjelaskan mengenai  perhitungan faraidh bagi anak dalam kandungan, anak zina, dan anak li’an.

II.      RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana perhitungan harta warisan anak dalam kandungan?
B.     Bagaimana perhitungan harta warisan anak zina?
C.     Bagaimana perhitungan harta warisan anak li’an?

III.   PEMBAHASAN
A.    Harta Warisan Anak dalam Kandungan
Kandungan (hamlu) adalah anak yang masih di dalam kandungan ibu, baik laki-laki atau perempuan. Telah diketahui bersama bahwa syarat memberikan harta warisan kepada siapapun harus benar-benar hidup ketika pewaris meninggal dunia. Oleh karena itu, yang disebut kandungan adalah anak yang masih dalam rahim ibu dan belum diketahui sifat dan keadaannya.[1]
Dalam hukum Islam, bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya, jika muwarrits-nya meninggal dunia, termasuk ahli waris yang berhak menerima bagian warisan, sama seperti ahli waris lainnya. Namun demikian, karena keadaannya masih dalam kandungan belum bisa dipastikan apakah akan lahir hidup atau mati. Demikian pula belum dapat diketahui secara persis jenis kelaminnya. Untuk menentukkan berapa bagian yang akan diterimanya, ada beberapa pertimbangan yang perlu diketahui.[2]
Pasal 250 BW menyatakan, bahwa anak sah adalah anak yang lahir atau tumbuh selama adanya perkawinan. Bunyi lengkap Pasal 250 BW adalah sebagai berikut:
Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan  memperoleh si suami sebagai bapaknya.
Anak sah memiliki kedudukan yang paling tinggi di mata hukum, sebab anak sah menyandang seluruh hak yang difasilitasi oleh hukum. Diantara  hak istimewa anak sah terlihat antara lain dalam kedudukannya sebagai hak waris yang berada dalam level tertinggi di antara golongan-golongan ahli waris lainnya. Selain hak waris, anak sah juga mendapatkan legitimasi dalam struktur hak sosial, image, dan lain-lain. Pasal 99 KHI menyatakan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau perkawinan yang sah, dan hasil suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.[3]
Mayoritas ulama berpendapat, bahwa bayi dalam kandungan dapat menerima hak-hak warisnya apabila bayi lahir dalam keadaan hidup. Salah satu indikasinya adalah ketika lahir, bayi tersebut berteriak atau menangis. Sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah r.a yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

اِذَا اِسْتَهَلَّ الْمَوْلُوْدُ وُرِّثَ (رواه أصحاب السنن)

“Apabila bayi yang dilahirkan itu berteriak, maka ia diberi bagian warisan.” (Riwayat Ashab al-Sunan).
Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab Al-Musnad meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لَ يَرِثُ الصَّبِيُّ حَتَّى يَسْتَهِلَّ رواه أحمد)

“Bayi tidak bisa menerima bagian warisan sehingga ia berteriak (menangis).” (Riwayat Ahmad)
Kedua hadis tersebut menunjukkan bahwa bayi berhak dapat menerima hak-hak warisnya apabila sudah lahir dan hidup. Hal ini dapat menimbulkan persoalan, bagaimana jika ahli waris lainnya menghendaki harta peninggalan si mati segera dibagi, sementara untuk menunggu kelahiran bayi dalam kandungan harus menunggu terlalu lama. Lagipula, jikalau segera dibagi, jenis kelamin bayi belum diketahui secara pasti, akankah lahir normal atau boleh jadi sebagai khunsa musykil.
Oleh karena itu, hal-hal yang perlu diketahui dalam kaitannya dengan  masalah pembagian warisan bayi dalam kandungan adalah:
Pertama, mengetahui batas minimal dan maksimal usia bayi dalam kandungan. Para ulama sepakat bahwa batas minimal usia bayi di dalam kandungan adalah enam bulan dihitung dari saat akad nikah dilangsungkan. Dasarnya adalah firman Allah swt:

وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا ... (الأحقاف ١٥)

... mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan ... (Q.S Al-Ahqaf [46] : 15)

... حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وِهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِى عَا مَيْنِ ... (لقمن ١٤)

... ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun ... (Q.S Luqman [31] : 14)
Kedua ayat tersebut di atas, oleh Ibn ‘Abbas dan diikuti dengan kesepakatan para Ulama, ditafsirkan bahwa ayat pertama menunjukkan tenggang waktu mengandung (kehamilan) dan menyapih adalah tiga puluh bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi disusuinya secara sempurna membutuhkan waktu dua atau sama dengan dua puluh empat bulan. Artinya, bayi membutuhkan waktu sekurang-kurangnya 30-24 bulan = 6 bulan.
Pendapat ulama yang lain mengatakan bahwa batas minimal usia bayi di dalam kandungan adalah sembilan bulan Qamariyah (± 270 hari). Ini adalah pendapat Ibn al-Humam dan sebagian ulama Hanabilah, yang kemudian diikuti oleh Kitab Undang-Undang Warisan Mesir.
Adapun batas maksimal usia bayi di dalam kandungan para Ulama berbeda pendapat. Batasan ini dihitung dari putusnya perkawinan sampai dengan kelahiran anak. Karena usaha untuk mengetahui  batas maksimal usia bayi dalam kandungan tersebut dimaksudkan untuk menentukan nasabnya kepada siapa akan dihubungkan kekerabatannya.
Ada Ulama yang menetapkan bahwa batas maksimal usia bayi dalam kandungan adalah satu tahun Qamariyah, ada yang berpendapat satu tahun Syamsiyah, ada yang mengatakan dua tahun, tiga tahun, bahkan ada yang menyatakan lima tahun.
Al-Laits ibn Sa’ad mengatakan bahwa batas maksimal bayi di dalam kandungan adalah  tiga tahun. Ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad ibn Hanbal menetapkannya empat tahun. Ulama Malikiyah menetapkan batas waktu yang lebih lama yaitu lima tahun.
Kedua, memberi bagian yang lebih menguntungkan dari perkiraan-perkiraan jenis kelamin bayi, dan bila mungkin juga ada perkiraan bayi akan lahir tunggal atau kembar.
Pemberian bagian yang lebih menguntungkan dari dua perkiraan, dimaksudkan agar apabila bayi lahir ternyata meleset dari perkiraan semula, maka bagian warisan yang disediakannya tetap mencukupi, dan tidak akan sedikit pun mnegurangi  hak-haknya. Sebaliknya, jika ada kelebihan dari yang seharusnya diterima, dapat dibagikan kepada ahli waris lainnya menurut  ketentuan hukum yang berlaku.[4]
Apabila para ahli waris telah sepakat untuk menunda pembagian waris sampai janin dalam kandungan itu lahir, tidak menimbulkan masalah. Karena kelahiran anak itu dapat membantu penyelesaiannya apakah ia lahir dalam keadaan hidup atau mati, apakah ia laki-laki atau perempuan dan apakah hanya seorang diri atau kembar. Tetapi yang menjadi masalah, bila ahli waris menghendaki disegerakan untuk pembagian harta waris. Mengenai hal ini, Al-Qaffal, seorang ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa peninggalan mayit harus ditahan dulu sampai anak yang masih dalam kandungan itu lahir, kendati  para ahli waris menginginkan untuk segera  dibagikan.
Jumhur ulama memerinci sebagai berikut:
1.      Bila sang jabang bayi mewarisi secara bersama-sama dengan orang yang tidak akan menerima pusaka, seperti saudaranya mayit, maka saudaranya itu tidak diberikan sedikitpun, karena jabang bayi dalam kandungan itu akan dianggap berjenis kelamin laki-laki yang bakal menerima  seluruh harta peninggalan secara ushbah.
2.      Bila sang jabang bayi mewarisi secara bersama-sama dengan ahli waris yang ashabul-furudhnya tidak pasang surut, maka ahli waris tersebut menerima pusaka sesuai dengan furudhnya masing-masing dan jabang bayi dalam kandungan menerima sisanya. Semisal ahli waris terdiri dari ibu, istri, dan anak dalam kandungan. Ibu mendapat 1/6 dan istri 1/8.
3.      Bila sang jabang bayi mewarisi secara bersama-sama ahli waris yang furudhul muqaddarahnya dapat pasang surut, maka ahli waris tersebut diberikan bagian sesuai dengan furudhnya yang terkecil dan anak dalam kandungan diberikan bagian yang terbesar di antara dua perkiraan laki-laki dan perempuan.
Cara penyelesaiannya adalah dengan memperkirakan jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan kemudian dipilih bagian yang terbesar, agar warisan yang disediakannya mencukupi dan tidak akan mengurangi hak-haknya. Sebaliknya jika ada kelebihan dapat dibagi oleh ahli waris lainnya menurut ketentuan yang berlaku.[5]
Contoh dan penyelesainnya
1.      Seorang ahli waris terdiri dari ibu, bapak, dan istri yang sedang hamil. Berapa harta yang disediakan untuk bayi dalam kandungan jika harta peninggalan Rp. 480 juta.
Diperkirakan anak perempuan (tunggal),
Ibu 1/6 : 4/24 x Rp. 480 juta = Rp. 80 juta.
Bapak 1/6 + sisa : 4/24 x Rp. 480 juta = Rp. 80 juta.
Istri 1/8 : 3/24 x Rp. 480 juta = Rp. 60 juta.
Anak perempuan tunggal ½ : 12/24 x Rp. 480 juta = Rp. 240 juta.
Sisa Rp. 30 juta untuk bapak.

Diperkirakan anak laki-laki (tunggal),
Ibu 1/6 : 4/24 x Rp. 480 juta = Rp. 80 juta.
Bapak 1/6 : 4/24 x Rp. 480 juta = Rp 80 juta.
Istri 1/8 : 3/24 x Rp. 480 juta = Rp. 60 juta.
Anak laki-laki ashabah (sisa) : 13/24 x Rp. 480 juta = Rp. 260 juta.
Dari dua perkiraan di atas, perkiraan laki-laki yang terbesar yaitu Rp. 260 juta. Inilah yang harus disediakan untuk bayi yang lahir. Tetapi jika ternyata yang lahir anak perempuan. Bayi perempuan mendapat Rp. 240 juta. Sisanya untuk bapak.

2.    Ahli waris terdiri dari suami dan ibu yang sedang hamil. Berapa bagian masing-masing jika harta peninggalan Rp. 480 juta?
Jika diperkirakan anak perempuan (tunggal),
Suami ½ : 3/6 menjadi ‘aul 3/8 : Rp. 480 juta = Rp. 180 juta.
Ibu 1/3 : 2/6 : 2/8 x Rp. 480 juta = Rp. 120 juta.
Saudara perempuan sekandung  ½ : 3/6 : 3/8 x Rp. 480 juta = Rp. 180 juta.

Jika diperkirakan laki-laki (tunggal),
Suami ½ : 3/6 x Rp. 480 juta = Rp. 240 juta.
Ibu 1/3 : 2/6 x Rp. 480 juta = Rp. 160 juta.
Saudara laki-laki sekandung ashabah (sisa) 1/6 x Rp. 480 juta = Rp. 80 juta.

Jika diperkirakan kembar perempuan,
Suami ½ : 3/6 : menjadi ‘aul 3/8 x Rp. 480 juta = Rp. 180 juta.
Ibu 1/6 : 1/8 x Rp. 480 juta = Rp. 60 juta.
2 saudara perempuan sekandung 2/3 : 4/6 : 4/8 x Rp. 480 juta = Rp. 240 juta.

Jika diperkirakan kembar laki-laki,
Suami ½ : 3/6 x Rp. 480 juta = Rp. 240 juta.
Ibu 1/6 x Rp. 480 juta = Rp. 80 juta.
2 saudara sekandung laki-laki ashabah 2/6 x Rp. 480 juta = Rp. 160 juta.
Dari empat perkiraan di atas, yang terbesar adalah bagian yang diperkirakan kembar perempuan, yaitu RP. 240 juta. Jika ternyata bayi itu lahirlaki-laki, maka bayi itu mendapat Rp. 80 juta. Adapun sisanya dibagi untuk suami dan ibu.[6]
Dalam buku Fiqh Mawaris karya Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M. A, juga dikemukakan contoh penyelesaian perhitungan pembagian warisan kepada bayi dalam kandungan, yaitu:
Ahli waris terdiri dari suami, anak, perempuan dan ibu yang sedang hamil. Harta warisan yang ditinggalkan sejumlah Rp. 12.000.000,-. Bagian masing-masing adalah:
1.)    Perkiraan perempuan:
Ahli Waris
Bag
AM
HW
Penerimaan


12
Rp. 12.000.000,-

Suami          ¼
3
3/12 x
Rp. 12.000.000,-
Rp. 3.000.000,-
Anak Pr       ½
6
6/12 x
Rp. 12.000.000,-
Rp. 6.000.000,-
Ibu              1/6
2
2/12 x
Rp. 12.000.000,-
Rp. 2.000.000,-
Saudara Pr   1
1
1/12 x
Rp. 12.000.000,-
Rp. 1.000.000,-

12

Jumlah
Rp. 12.000.000,-

2.)    Perkiraan laki-laki:
Ahli Waris
Bag
AM
HW
Penerimaan


12
Rp. 12.000.000,-

Suami     1/4
3
3/12 x
Rp. 12.000.000,-
Rp. 3.000.000,-
Anak Pr   ½
6
6/12 x
Rp. 12.000.000,-
Rp. 6.000.000,-
Ibu          1/6
2
2/12 x
Rp. 12.000.000,-
Rp. 2.000.000,-
Sdr Laki-laki ‘as
1
1/12 x
Rp. 12.000.000,-
Rp. 1.000.000,-

12

Jumlah
Rp. 12.000.000,-

Jadi, baik dalam perkiraan perempuan maupunlaki-laki diperoleh hasil yang sama, yaitu si bayi mendapat bagian Rp. 1.000.000,-. Dalam keadaan demikian,bagian yang disediakan untuk si bayi dapat diklasifikasikan sebagai bagian yang pasti.
3.)    Perkiraan kembar perempuan:
Ahli Waris
Bag
AM
HW
Penerimaan


12
Rp. 12.000.000,-

Suami     1/4
3
3/12 x
Rp. 12.000.000,-
Rp. 3.000.000,-
Anak Pr   ½
6
6/12 x
Rp. 12.000.000,-
Rp. 6.000.000,-
Ibu          1/6
2
2/12 x
Rp. 12.000.000,-
Rp. 2.000.000,-
2 Sdr Pr ‘as
1
1/12 x
Rp. 12.000.000,-
Rp. 1.000.000,-

12

Jumlah
Rp. 12.000.000,-

4.)    Dalam perkiraan kembar laki-laki akan diperoleh hasil yang sama karena posisinya baik laki-laki atau perempuan adalah penerima ‘ashabah.[7]

                                         
B.     Harta Warisan Anak Zina
Apabila seseorang telah terang ada hubungan darahnya dengan ibu-bapaknya, maka dia mewarisinya selama tidak ada suatu penghalang pusaka dan selama syarat-syarat pusaka telah cukup sempurna, dan tidak dapat seseorang dipandang mempunyai hubungan darah dengan ayah saja tanpa ibu.
Yang dapat dipandang ada, ialah hubungan darah dengan ibu saja, tidak dengan ayah. Seperti pada anak zina dan anak li’an. Syara’ telah menetapkan bahwa kedua-dua anak ini dibangsakan kepada ibunya dan tidak diakui hubungan darahnya dengan si ayah. Oleh karenanya, tidak ada hubungan kekerabatan antara anak itu dengan ayahnya.[8]
Anak zina yaitu anak yang lahir dari hasil perzinaan, atau anak lahir di luar perkawinan yang sah menurut ketentuan agama Islam. Pengertian ini dengan sangat tegas menyatakan bahwa yang menjadi aturan adalah hukum agama. Maksudnya, harus dibedakan misalnya, seorang perempuan yang tidak pernah diketahui melangsungkan akad nikah, ternyata tiba-tiba hamil. Untuk kepentingan formal yuridis, supaya bayi yang akan lahir mempunyai “bapak”, maka dicarikanlah calon bapak untuk si bayi.  Dalam contoh tersebut, seseorang perlu berhati-hati dalam menetapkan hukum nikah tersebut.[9]
Adapun anak zina merupakan anak dalam kelompok atau golongan paling rendah kedudukannya di mata hukum bahkan sosial. Anak zina merupakan jenis anak luar kawin dalam pengertian luas (anak tidak sah). Sesuai pasal 44 UUP bahwa seorang suami memiliki hak untuk mengingkari anak yang dilakukan oleh istrinya jika dia dapat membuktikan bahwa istrinya berbuat zina, dan anak tersebut sebagai akibat dari perbuatan zina tersebut.[10]
Jika melihat beberapa pasal dalam KHI, seolah anak di luar perkawinan atau anak tidak sah termasuk anak zina telah berhak atas warisan. Namun, pasal tentang hak waris anak masih berlanjut yaitu dengan adanya Pasal 186 KHI yang menyatakan:
Pasal 186
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarganya dari pihak ibunya.
Berdasarkan Pasal 186 KHI di atas, maka semakin jelas bahwa UUP dan KHI memiliki kesamaan dalam menetapkan kedudukan dan hak anak di luar perkawinan atau hak anak hasil perkawinan tidak sah.[11]
Dalam ‘urf modern dinamakan wa’ad ghairu syar’i (anak yang tidak diakui agama). Sebagaimana ayahnya dinamakan ayah ghairu syar’i. Oleh karena anak zina, baik lelaki ataupun perempuan, tidak diakui hubungan darah dengan ayahnya, maka dia tidak mewarisi ayahnya dan tidak pula dari seseorang kerabat ayah, sebagaimana ayahnya tidak mewarisinya, lantaran tidak ada sebab saling mempusakai antara keduanya, yaitu hubungan darah. Oleh karena anak zina itu diakui hubungan darahnya dengan ibunya, maka dia mewarisi ibunya, sebagaimana dia mewarisi kerabat-kerabat ibunya, demikian pula sebaliknya. Maka apabila meninggal seorang anak yang diakui agama, dengan meninggalkan ibunya dan ayahnya yang tidak diakui agama, maka semua harta peninggalan untuk ibunya dengan jalan fardhu dan dengan jalan radd.
Dan jikalau dia meninggal dengan meninggalkan seorang ibu, saudara lelaki seibu dan saudara lelaki dari ayahnya yang tidak diakui agama, maka semua harta peninggalan adalah untuk ibunya dan saudara seibu dengan jalan fardhu dan jalan radd. Apabila ibunya meninggal, atau meninggal salah seorang kerabat ibu, maka anak yang ghairu syar’i itu menerima pusaka dari ibunya dan kerabat-kerabat ibunya.
Dalam hal ini dipegang kaidah-kaidah yang umum terhadap pusaka. Dan apabila ayah yang bukan syar’i meninggal atau salah seorang kerabatnya, maka anak yang bukan syar’i tidak menerima pusaka darinya.[12]



C.    Harta Warisan Anak Li’an
Li’an adalah sumpah seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina, bahwa ia akan menerima laknat Allah swt., apabila tuduhannya terhadap istrinya berzina ternyata tidak benar. Apabila perzinaan yang dituduhkan suami terhadap istrinya itu benar dan kemudian melahirkan anak, maka anak tersebut dinamakan anak li’an.[13]
Li’an dalam istilah fuqaha, ialah suatu kondisi yang berlaku di antara suami-istri di muka pengadilan, yaitu pengucapan pensaksian dengan lafal-lafal yang khusus. Dinamakan pensaksian ini dengan li’an, karena di dalamnya terdapat kalimat la’nat (pengutukan) pada kali yang kelima.
Anak li’an ialah anak yang dilahirkan oleh seorang istri di atas tempat tidur  suaminya sedang diapun masih dalam ‘ishmah suaminya yang diakui syara’, tetapi si suami mengatakan bahwa anak itu bukan anaknya.
Apabila seorang suami mengingkari hubungan darah dengan anak yang dilahirkan oleh  istrinya di masa istri itu terikat pernikahan dengannya, sedang si suami tidak mempunyai bukti yang membenarkan tuduhannya bahwa istrinya berzina dan cukup pula syarat-syarat li’an yang sudah dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih, maka suami-istri itu ber-li’an dihadapan hakim untuk menghindari hukuman tukas (qadzaf), dari suami dan hukuman zina dari istri, dengan cara yang tersebut di bawah ini:
Suami mula-mula bersaksi di hadapan hakim dengan empat pensaksian, yaitu dengan mengucapkan asyhadu billahi inni laminash shadiqin (saya bersaksi dengan Allah, sesungguhnya saya adalah orang-orang yang benar tentang apa yang saya tuduhkan kepada istri saya, yaitu zina).
Dan pada kali yang kelima dia mengatakan: la’natullahi ‘alaiya inkuntu minal kadzibin (kutukan Tuhan atasku jika aku seorang yang dusta tentang tuduhanku ).
Kemudian istrinya bersaksi dengan empat pensaksian pula dengan mengucapkan: asyhadu billahi innahu la minal kadzibin (saya bersaksi dengan Allah, sesungguhnya dia adalah dari orang-orang yang berdusta terhadap tuduhannya atas diriku), dan pada kali yang  kelima dia mengatakan ghaddabullahi alaiya in kana minash shadiqin (Kemarahan Allah atas diriku, jika dia (suami) dari orang yang benar dalam tuduhannya).
Apabila telah sempurna ucapan li’an ber-li’an antara suami-istri di hadapan pengadilan, maka hakim pun menetapkan mereka berpisah dan menghubungkan anak itu kepada ibunya serta menetapkan, bahwa tidak ada hubungan darah antara anak itu dengan ayahnya.
Hukum anak li’an dalam pusaka, sama dengan hukum anak zina, karena itu, dia menerima pusaka dari ibunya dan dari kerabat-kerabat ibunya, demikian pula sebaliknya.
Tak ada pusaka antara anak li’an dengan ayahnya dan kerabat-kerabatnya, karena hakim telah menetapkan bahwa anak itu tidak mempunyai hubungan darah dengan ayahnya dan menghubungkannya dengan ibunya.
Disyaratkan pada pusaka anak zina dan li’an dari kerabat ibu ialah mereka dilahirkan dalam tempo sembilan bulan (270 hari) paling lama, dari tanggal muwaris kerabat ibunya wafat supaya dapat dipastikan bahwa anak itu telah ada di waktu muwaris-nya meninggal. Dan jika ia dilahirkan sesudah lewat 9 bulan sesudah muwaris meninggal, maka dia tidak menerima pusaka dari muwaris-nya itu.[14]
1.    Ahli waris terdiri dari nenek, anak perempuan (tidak sah), cucu perempuan dari anak perempuan. Harta warisan Rp. 180 juta. Berapa bagian mereka masing-masing?
a.    Menurut Imam Malik dan Syafi’i
Nenek 1/6 x  Rp. 180 juta = Rp. 30 juta.
Anak perempuan (tidak sah) ½ : 3/6 x Rp. 180 juta = Rp. 90 juta.
Sisanya adalah Rp. 180 juta – Rp. 120 juta = Rp. 60 juta diserahkan ke baitul mal.
Cucu perempuan tidak dapat karena dzawil-arham.
b.   Menurut Abu Hanifah
Dzawil-arham harus didahulukan daripada baitul mal.
Nenek 1/6 x Rp. 180 juta = Rp. 30 juta.
Anak perempuan (tidak sah) ½ : 3/6 x Rp. 180 juta = Rp. 90 juta.
Cucu perempuan dari anak perempuan ashabah (sisa) 2/6 x Rp. 180 juta = Rp. 60 juta.
2.        Ahli waris terdiri dari suami, bapak, dan anak laki-laki tidak sah. Harta warisan Rp. 12 milyar. Berapa bagian mereka masing-masing?
Suami ¼ : 3/12 x Rp. 12 milyar = Rp. 3 milyar.
Bapak 1/6 : 2/12 x Rp. 12 milyar = Rp. 2 milyar.
Anak laki-laki tidak sah ashabah (sisa) 7/12 x Rp. 12 milyar = Rp. 7 milyar.[15]

Implikasi hukum dari anak Zina dan anak mula’anah adalah sebagai berikut:
1.      Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
2.      Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3.      Jika li’an itu terbukti, maka seorang anak akan berubah statusnya menjadi anak yang tidak sah (mula’anah) dan kedudukannya di mata hukum sama dengan anak hasil zina, dimana dia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan terhadap laki-laki yang mengingkarinya dengan li’an tidak memiliki hubungan apa-apa.
Implikasi dari tidak adanya hubungan anak dengan ayah akan sangat kelihatan dalam beberapa aspek yuridis, dimana laki-laki yang secara biologis adalah ayah kandungnya itu berkedudukan orang lain, sehingga tidak wajib memberi nafkah, tidak ada hubungan waris-mewarisi, bahkan seandainya anak zina itu perempuan, “ayah” kandungnya tidak diperbolehkan berduaan dengannya, serta laki-laki pezina itu tidak menjadi wali dalam pernikahan anak perempuan zinanya, sebab antara keduanya tidak ada hubungan sama sekali dalam syari’at Islam.[16]

IV.   KESIMPULAN
a.)      Dalam hukum Islam, bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya, jika muwarrits-nya meninggal dunia, termasuk ahli waris yang berhak menerima bagian warisan, sama seperti ahli waris lainnya. Namun demikian, karena keadaannya masih dalam kandungan belum bisa dipastikan apakah akan lahir hidup atau mati. Demikian pula belum dapat diketahui secara persis jenis kelaminnya. Untuk menentukkan berapa bagian yang akan diterimanya, ada beberapa pertimbangan yang perlu diketahui.
b.)      Apabila seseorang telah terang ada hubungan darahnya dengan ibu-bapaknya, maka dia mewarisinya selama tidak ada suatu penghalang pusaka dan selama syarat-syarat pusaka telah cukup sempurna, dan tidak dapat seseorang dipandang mempunyai hubungan darah dengan ayah saja tanpa ibu.
Yang dapat dipandang ada, ialah hubungan darah dengan ibu saja, tidak dengan ayah. Seperti pada anak zina dan anak li’an. Syara’ telah menetapkan bahwa kedua-dua anak ini dibangsakan kepada ibunya dan tidak diakui hubungan darahnya dengan si ayah. Oleh karenanya, tidak ada hubungan kekerabatan antara anak itu dengan ayahnya.

V.      PENUTUP
Demikian makalah ini penulis susun. Pemakalah berharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi lebih baiknya makalah selanjutnya. Semoga ini berguna bagi pemakalah pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.














DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2010.  Fiqh Mawaris. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.

Hasbiyallah. 2007. Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mardani. 2014. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Muhammad, Bahruddin. 2014. Hak Waris Anak di Luar Perkawinan. Semarang: Fatawa Publishing.
Muhibbin. 2009. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Rofiq, Ahmad 2012. Fiqh Mawaris ed. Rev. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.





[1] Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 132.
[2] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris ed. Rev, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 149.
[3] Bahruddin Muhammad, Hak Waris Anak di Luar Perkawinan, (Semarang: Fatawa Publishing, 2014), hlm. 287-288.
[4] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris ed. Rev, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 149-156.
[5] Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 82-85.
[6] Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 82-85.
[7] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris ed. Rev, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 159-160.
[8] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010), hlm. 252-253.
[9] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris ed. Rev, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 160.
[10] Bahruddin Muhammad, Hak Waris Anak di Luar Perkawinan, (Semarang: Fatawa Publishing, 2014), hlm. 57.
[11] Bahruddin Muhammad, Hak Waris Anak di Luar Perkawinan, (Semarang: Fatawa Publishing, 2014), hlm. 306.
[12] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010), hlm. 252-253.
[13] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris ed. Rev, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 163.
[14] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,  Fiqh Mawaris, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010), hlm. 253-254.
[15] Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 86-87.
[16] Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 104-105.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar