I.
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan zaman, agama Islam juga mengalami
perkembangan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa agama Islam pada mulanya
hanya berada di kawasan Saudi Arabia saja, namun lama-kelamaan dengan
berjalannya waktu, agama Islam pun semakin meluas dan menyebar ke seluruh
penjuru dunia termasuk ke Asia Timur, khususnya Cina, Jepang, dan Korea. Islam
juga mengalami perkembangan yang cukup pesat di sana. Di mana sebelum masuk ke
negara-negara tersebut, masyarakatnya menganut agama Shinto dan Budha. Namun
sesuai perkembangan zamannya, sebagian penduduk dari negara-negara tersebut
akhirnya memeluk agama Islam sebagai agama mereka. Walaupun hanya bersifat
minoritas saja. Untuk itu, dalam pembahasan makalah ini kami akan membahas
mengenai bagaimana Islam di Asia Timur yang dikenal sebagai negara minoritas
Islam.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana sejarah dan perkembangan agama Islam di Cina?
B.
Bagaimana sejarah dan perkembangan agama Islam di Jepang?
C.
Bagaimana sejarah dan perkembangan agama Islam di Korea?
III.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan perkembangan agama Islam di Cina
Islam sampai ke Cina melalui dua jalur perdagangan, pertama-tama
melalui jalan laut, dan kemudian melalui jalur darat. Komunitas Muslim Cina
telah meningkat terus-menerus bertahun-tahun melalui imigrasi, perpindahan
agama dan perkawinan.
Sumber-sumber Cina Kuno melaporkan bahwa ekspedisi Arab datang ke Cina di
tahun kedua pemerintahan Kaisar Yung Way dari Dinasti Tang; yaitu pada 31 H (651 M) di masa pemerintahan Khalifah
Utsman. Orang-orang Muslim Cina percaya
bahwa para anggota delegasi ini, yang berjumlah 15 orang, adalah orang muslim
pertama yang memasuki Cina. Mereka percaya bahwa ekspedisi itu di bawah Saad
Ibn Abi Waqqas, salah seorang sahabat Nabi. Delegasi datang ke Cina melalui
laut, mendarat ke Kanton, kemudian melalui darat pergi ke ibukota Shang-An (sekarang Sian) di
mana mereka disambut oleh Kaisar dan diizinkan membangun sebuah masjid. Masjid
ini diyakini sebagai masjid pertama di Cina, yang masih berdiri sampai
sekarang. Ada juga sebuah masjid di Kanton, di atas kuburan Saad, ketua
ekspedisi itu. Namun cerita ini belum diuji dengan sumber-sumber Arab, dan
dapat dipastikan bahwa Saad Ibn Abi Waqqas meninggal di Madinah. Ini berarti
bahwa ketua ekspedisi itu pasti Saad yang lain.
Tentara Muslim mencapai perbatasan Cina pertama kali melalui darat
di masa Khalifah Walid dari Bani Umayyah. Al Hajjaj Ibn Yusuf Al Tsaqafi,
Gubernur Irak pada waktu itu mengirim tentara Muslim di bawah pimpinan Qutaibah
Ibn Muslim Al Bahili ke perbatasan Cina.
Tentara itu meninggalkan Samarkand (Uzbekistan) pada 93 H (711 M) dan
memasuki Kashgar (Singkiang) pada 96 H (714 M). Kaisar Cina kemudian setuju membayar
upeti kepada orang-orang Muslim sebagai tanda kesetiaan kepada Negara Muslim.
Hubungan perdagangan meningkat dengan pesat antara bangsa Muslim
dan Cina. Perdagangan dijalankan pertama dengan jalur laut, kemudian ketika
Kasghar menjadi bagian dari bangsa Muslim, melalui jalur darat. Kebanyakan
pedagang adalah Muslim, dan umumnya dari Arabia dan Persia. Hubungan antara
Cina dan bangsa Muslim di masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah terus menerus
bersifat ramah dan hangat, saling tukar-menukar kedutaan dan delegasi. Pada 138
H (755 M) Kaisar Cina meminta pertolongan dari bangsa Muslim untuk memadamkan
pemberontakan An-Lu-Chan. Khalifah memenuhi dengan mengirim pasukan terdiri
dari 4.000 orang tentara Muslim yang berhasil mengalahkan pemberontak dan
menetap di tanah Cina. Mereka mengawini wanita Cina, membangun keluarga Muslim,
sehingga memberikan dukungan demografik yang kuat kepada komunitas Muslim pertama
di Cina.[1]
Selama Dinasti Tang, orang-orang Muslim
hidup makmur dan dihormati di Cina, banyak Kaisar yang memberikan perlakuan istimewa
kepada mereka. Pemberian hak istimewa ini meningkat di bawah Dinasti Siung. Ada 86 delegasi dari Negara Muslim ke
China antara 31 H (651 M) dan 604 H (1207 M). Sepanjang Dinasti Siung pos baru
diciptakan, yaitu Direktur Jendral Laut di Kanton selalu dijabat oleh soerang
Muslim. Sepanjang periode yang sama, penduduk Muslim meningkat dan terjadi perpindahan
agama secara massal Suku Hsiung Nu.
Orang-orang Mongol di bawah Chingis Khan
menyerbu China dan meruntuhkan Dinasti Siung. Kubilay Khan, anak Chingis membanagun Dinasti
Yuan. Pada waktu itu tentara Mongol menaklukkan
sebagian besar bagian Asia dari dunia Islam dan menghancurkan kekhalifahan
Abbasiyah dan ibu kota Muslim, Baghdad. Namun akibat sampingnya adalah Pax
Mongolica yang meliputi
bagian-bagian dunia Islam dan China dalam satu unit tunggal. Situasi ini
membantu terjadinya perpindahan agama secara massal ke Islam, terutama para
pembesar Mongol. Akhirnya orang-orang Muslim menjadi kelas terkemuka di seluruh
Negara Mongol. Di periode ini pengembara Maroko Ibn Batutah mengunjungi China.
Ia melaporkan bahwa “tiap kota China mempunyai kota Muslim di mana hanya hidup
orang-orang Muslim, dalam kota-kota ini ada masjid dan lembaga-lembaga lain.
Orang-orang Muslim sangat dihormati.”
(PUNCAK KEJAYAAN) Dinasti Mongol (Yuan)
jatuh pada 1368 M, diganti oleh Dinasti Ming sampai 3 abad sampai tahun 1644 M.
Muslim memencapai puncak kemakmuran pada periode ini. Pengaruh Islam pada
Dinasti Ming pernah lebih besar dari Dinasti Mongol. Kaisar pertama dinasti
itu, Ming Tsai Tsu, dan Kaisar wania
diperkirakan telah menjadi Islam. Kaisar Yung Lu (1405-32 M) menggunakan
kalender Hijriyah sebagai kalender resmi China dan mengirim Duta Besar Muslim,
Chung Hu, ke beberapa Negara Muslim untuk membangun hubungan yang hangat dengan
mereka. Kebanyakan pejabat tinggi Dinasti Ming juga Muslim.[2]
Dinasti Ming dijatuhkan oleh Manchu yang
membangun Dinasti Ching. Kebijakan opsesif (menekan) Dinasti Mancu, yang
didirikan pada abad ke-17, mengakibatkan timbulnya banyak pemberontak Muslim.
Pemberontakan yang sangat hebat terjadi di Propinsi Yunan dan Kansu. Haulung
(1871) mampu menguasai wilayah yang sangat luas, sementara Yaqub Beg
(1820-1877) berhasil membentuk pemerintahan yang memperoleh pengakuan saat
kekuatan kerajaan China pulih kembali. Di Honan muncul perjuangan yang berakhir
pada tahun 1953 dengan tujuan untuk mendirikan sebuah pemerintahan Islam yang
merdeka.
Rezim peerintahan republic yang baru, yang
bermula pada awal abad ke-20. Dalam pemerintahan Republik Rakyat Cina orang
Muslim tidak diperlakukan sebagai satu “kelompok masyarakat”. Hanya kelompok
etnik yang terdapat dalam komunitas Muslim yang memperoleh pengakuan langsung.
Mereka dinyatakan sebagai “warga Negara minoritas”.[3] Tekanan dan kedzaliman yang dilakukan oleh pemerintah Cina semenjak
tahun 1911 – 1949 dalam pemerintahan Republik Cina dan 1949 – sekarang oleh RRC
membuat muslim uighur maupun muslim hui menjadi sangat gerah. Di Xinjiang,
walaupun daerah tersebut sangat kaya dengan minyak dan pariwisatanya, namun
penduduk uighur hidup dalam kemiskinan dan tekanan dalam ibadah mereka.
Pemerintah Cina seolah-olah ingin mengatakan “Kami mau harta di Xinjiang tetapi
tidak menginginkan orang-orang uighur”. Akumulasi tekanan dan penindasan inilah
yang menjadi cikal bakal kerusuhan-kerusuhan di Xinjiang, termasuk terakhir
yang terjadi 5 Juli 2009 lalu.
Tercatat sekitar 184 orang meninggal
1434 orang dipenjara dan 1680 lainnya terluka dalam bentrok aparat dengan
muslim uighur. Dan yang lebih parah lagi, setelah kejadian itu, pemerintah Cina
seolah membiarkan ketika kejadian ini berganti menjadi kerusuhan etnis. Setelah
pemerintah dan aparat keamanan yang menghabisi etnis uighur, giliran suku Han
yang dipancing untuk menghabisi etnis uighur, dan ini dibiarkan begitu saja
oleh pemerintah Cina. Lebih menuakitkan lagi, sampai sekarang aparat Cina
mengepung kota Urumqi dengan tentara yang sangat banyak dan melarang shalat
jum’at bagi orang muslim uighur.[4]
B.
Sejarah dan Perkembangan Agama Islam di Jepang
Pada tahun 1890 terjadi peristiwa penting yang mempertemukan Jepang
dan Islam. Peristiwa ini dikenal dengan “Kapal Entragul”. Sebuah kapal Turki
singgah di Jepang dalam urusan diplomatic. Akan tetapi selama perjalanan
pulangnya kapal tersebut karam. Dari 600 penumpang hanya 69 orang yang selamat.
Pemerintah bersama-sama rakyat berusaha menolong penumpang yang selamat. Dan
mengadakan upacara penghormatan bagi arwah penumpang yang meninggal. Kemudian
yang selamat kembali ke Turki. Pada tahun 1891, dikirimlah utusan dari Turki ke
Jepang dan terjalinlah hubungan yang baik antara Turki dan Jepang. Hal ini
sangat menguntungkan bagi Jepang dalam melawan Rusia. Pada saat armada kapal
Rusia melintasi laut Baitik, Turki memberitahukannya kepada Jepang. Sehingga
Jepang memperoleh kemenangan dalam melawan Rusia.[5]
Islam diperkenalkan di
Jepang sekitar pergantian abad yang lalu oleh orang Tartar Muslim dari Imperium
Rusia. Salah seorang pendakwah pertama, Abdul Rashid Ibrahim datang di Jepang
pada tahun 1909. Setelah itu lebih banyak Muslim Tartar datang lebih banyak,
kemudian orang Jepang pindah agama ke
Islam.[6] Orang
Jepang yang pertama kali masuk Islam adalah Torajiro Yamada. Kemudian disusul
oleh Mitsutaro Takaoka pada tahun 1909, yang kemudian mengganti namanya menjadi
Omar Yamaoka setelah pulang dari ibadah
haji. Kemudian Bunpachiro Ariga tahun 1946, yang kemudian berganti nama menjadi
Achmad Ariga, seorang pedagang yang mendapat pengaruh Islam dalam perjalanan ke
India. Kemudian ada lagi nama Hilal Torajiro 1957, Yarullah Tanaka Ippei 1934, dan lain-lain.
Islam di Jepang berkembang pesat saat berkecamuknya Perang Dunia
II, kemudian satu lagi pada saat terjadi krisis minyak dunia. Islam mencapai
puncak kejayaannya di Jepang pada tahun 1973, namun perkembangan Islam di
Jepang tidak sama halnya dengan perkembangan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah
yang berada di Timur Tengah. Islam di Jepang hanyalah Islam yang bersifat
minoritas semata, jauh berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Kalau pada masa
Dinasti Abbasiyah, agama Islam berkuasa secara penuh dikarenakan semua penduduk
menganut agama Islam, lain halnya dengan Islam yang ada di Jepang yang hanya sebagian kecil
penduduknya yang menganut agama Islam.
Setelah usainya krisis minyak dunia Islam pun kembali mulai
dilupakan oleh masyarakat Jepang. Setelah itu agama Islam seolah-olah sulit
berkembang di negara ini. Hal ini disebabkan oleh ketaatan masyarakat Jepang
pada agama Shinto dan Budha.
Perkembangan agama Islam di Jepang pada saat ini sudah mengalami
perkembangan yang cukup pesat. Berdasarkan perkiraan Islamic Centre,
jumlah pnganut agama Islam di Jepang sudah mencapai 70.000 sampai dengan
200.000 orang. Penganut Islam terbanyak adalah berasal dari luar Jepang.
Menurut Michael Penn, dari total keseluruhan penganut Islam di Jepang hanya
sekitar 10% yang merupakan berasal dari penduduk asli Jepang. Sedangkan 90% merupakan
penduduk pendatang dari luar Jepang. Sebagian besar pemeluk agama Islam di
Jepang adalah para pelajar dan para imigran dari negara-negara Asia Tenggara
dan Timur Tengah. Mereka tersebar di
banyak tempat, seperti di Tokyo, Nagoya, Osaka, Kobe, dan tempat-tempat
lainnya. Salah satu sebab agama Islam bisa berkembang di Jepang adalah karena
bagusnya iklim toleransi yang ada di masyarakat Jepang. Dan adanya jaminan
kebebasan beragama oleh pemerintah Jepang. Toleransi penduduk asli terhadap
agama baru sangat tinggi. Misalnya saja: pada jamuan makan/minum selalu ditanyakan
apakah ada yang berpantang terhadap daging atau minuman yang mengandung
alkohol.
Di Jepang terdapat ratusan masjid, jumlah masjid yang terbanyak
berada di daerah Tokyo.[7]
Masjid pertama yang dibangun oleh orang Muslim di Jepang adalah Masjid Kobe, yaitu pada tahun 1935.
Kemudian pada tahun 1938 mereka membangun masjid Tokyo. Saat ini ada sekitar
sepuluh asosiasi Muslim mengumpulkan komunitas di kota-kota sebagai berikut:
Tokyo,Kyoto, Kobe, Naruta, Tokoshima, Sendai, Nagoya, Kamizawa.[8] Masjid
terbaru sekarang adalah Masjid Gitu yang terletak di daerah provinsi Aichi.
Dakwah-dakwah dilakukan secara individual kepada keluarga.
Dakwah-dakwah dilakukan secara rutin terhadap komunitas-komunitas muslim di sini. Di negara ini terdapat
beberapa organisasi Islam, diantaranya Japan Muslim Asociation dan Japan
Islamic Congres. Negara ini pernah menyelenggarakan seminar internasional
yang diselenggarakan oleh JIC (Japan Islamic Congres). Dengan
adanya organisasi ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan agama Islam di
Jepang. Organisasi ini menyediakan markas kegiatan sosial pendidikan dan markas
sosial keagamaan. Organisasi keagamaan juga menyelenggarakan acara bersama dan
juga diskusi untuk menambah pengetahuan keislaman. Selain itu acara ini juga
efektif dalam membina persaudaraan sesama Muslim. Dengan adanya organisasi
keagamaan ini merupakan salah satu upaya yang mendorong pengembangan agama
Islam serta mengenalkan agama Islam secara lebih luas pada masyarakat Jepang
dan cosmopolitan.[9]
Di masa kini ketika Jepang menjadi salah satu tujuan pendidikan, usaha dan
wisata yang populer, banyaknya pekerja, pelajar dan wisatawan muslim turut
mempengaruhi perkembangan Islam disana. Minister Sato, Wakil Duta Besar untuk
Indonesia menyatakan: "Di Jepang pada tahun seribu sembilan ratus tiga
puluhan (1930-an), hanya ada dua masjid, namun saat ini sudah terdapat lebih
dari seratus masjid. Masyarakat Islam yang ada di Jepang, paling banyak orang
Indonesia, kemudian orang Pakistan, Bangladesh, dan Iran. Pusat Islam dan Asosiasi
Muslim Jepang di Tokyo menjadi pusat studi Islam dan Bahasa Arab bagi warga
Jepang, yang banyak menarik perhatian warga muda Jepang. Saya percaya,
akumulasi dari berbagai usaha yang kecil seperti ini, dapat memberi andil bagi
dunia yang lebih damai."
Bandara-bandara internasional di Jepang berusaha menjadi lebih ramah kepada
umat Islam dengan menyediakan fasilitas dan ruang ibadah di tengah kenaikan
tajam pengunjung dari dunia Islam menyusul kelonggaran dari pemerintah Jepang
tentang peraturan untuk mengeluarkan visa pada Juli 2013.
Kyoto, juga berencana
menjadi kota yang ramah terhadap muslim. Pasca pembebasan visa pada Juli 2013,
jumlah pengunjung muslim asal Malaysia ke Jepang meningkat dan mendorong
pemerintahan di Kyoto mencari cara untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kyoto
memiliki kelompok studi dibawah Asosiasi Muslim Kyoto. Asosiasi yang berdiri
sejak tahun 1987 ini mengusahakan agar muslim dapat mengunjungi masjid dan
beribadah di dalamnya, menyediakan ruangan dengan petunjuk arah kiblat, juga memberikan
informasi terkait tempat-tempat makan halal yang di Kyoto.[10]
C.
Sejarah dan Perkembangan Agama Islam di Korea
Selama pertengahan abad ke-7, pedagang
Muslim telah melintasi Asia
Timur sejak Dinasti Tang dan membentuk kontak dengan Silla, salah satu dari Tiga
Kerajaan Korea Pada tahun 751 M, seorang jenderal Cina keturunan Goguryeo, Gao
Xianzhi, memimpin Pertempuran
Talas untuk Dinasti Tang terhadap kekhalifahan Abbasiyah namun dikalahkan.
Referensi paling awal ke Korea dalam kerja geografis non-Asia Timur muncul dalam General
Survey of Roads and Kingdoms oleh Ibnu
Khurdadbih pada pertengahan abad
ke-9.
Kehadiran pertama Islam dapat diverifikasi di Korea berawal dari abad ke-9 selama periode Silla Bersatu dengan kedatangan
pedagang dan navigator Persia dan Arab. Menurut banyak geografer Muslim, termasuk penjelajah dan ahli geografi
Muslim Persia abad ke-9 Ibnu
Khurdadbih , banyak dari mereka
menetap secara permanen di Korea, mendirikan desa-desa Muslim. Beberapa catatan
menunjukkan bahwa banyak dari pemukim berasal dari Irak. Catatan lain
menunjukkan bahwa sejumlah besar dari Syiah faksi Alawi menetap di Korea. Selanjutnya yang menunjukkan
adanya masyarakat Muslim Timur Tengah di Silla adalah patung-patung wali
kerajaan dengan karakteristik khas Persia. Pada gilirannya, umat Islam banyak kemudian
menikah dengan wanita Korea. Beberapa asimilasi
ke Buddhisme dan Shamanisme terjadi, karena isolasi geografis Korea dari dunia Muslim.
Hubungan perdagangan antara dunia
Islam dan semenanjung Korea dilanjutkan dengan kerajaan Goryeo sampai abad ke-15.
Akibatnya, sejumlah pedagang Muslim dari Timur
Dekat dan Asia
Tengah menetap di Korea dan
mendirikan keluarga di sana. Setidaknya satu klan utama Korea, keluarga Chang keluarga dengan
tempatnya di desa Toksu, mengklaim keturunannya dari keluarga Muslim. Beberapa
Muslim Hui dari Cina juga tampaknya telah tinggal di kerajaan Goryeo. Pada 1154, Korea
termasuk dalam atlas dunia geografer Arab Muhammad al-Idrisi, Tabulla Rogeriana. Peta tertua dunia
Korea, Kangnido, menarik pengetahuan dari Kawasan
Barat dari karya geografi
Islam.
Kontak kecil dengan masyarakat mayoritas Muslim, khususnya Uighur, berjalan terus dan
semakin dekat. Satu kata untuk Islam dalam bahasa Korea, hoegyo berasal
dari huihe, nama Bahasa
Tionghoa tua untuk Uyghur.
Selama akhir periode Goryeo, ada masjid di ibukota Gaeseong.
Selama kekuasaan Mongol di Korea, Mongol sangat bergantung pada Uyghur untuk membantu mereka
menjalankan kerajaan besar mereka karena keaksaraan Uighur dan Uighur
berpengalaman dalam mengelola jaringan perdagangan yang diperluas. Setidaknya
dua orang Uighur duduk di Korea secara permanen dan menjadi nenek moyang dari
dua klan Korea.
Pada periode awal Joseon, penanggalan Islam berfungsi sebagai dasar untuk kalender karena reformasi untuk akurasi yang
unggul di atas kalender Cina yang sudah ada. Penerjemahan Korea dari Huihui Lifa, sebuah teks yang
menggabungkan astronomi
Cina dengan astronomi Islam, dipelajari di Korea di bawah Dinasti Joseon di masa Sejong yang Agung pada abad ke-15.
Tradisi astronomi Cina-Islam bertahan di Korea sampai awal abad ke-19.
Namun, karena isolasi politik dan geografis Korea selama periode Joseon,
Islam harus menghilang di Korea yang pada saat itu diperkenalkan kembali pada
abad ke-20. Hal ini diyakini bahwa banyak praktik-praktik keagamaan dan ajaran
tidak dapat bertahan. Namun, pada abad ke-19, pemukim Korea di Manchuria melakukan kontak
kembali dengan Islam, ini menjadi Muslim Korea pertama pada zaman modern.
Catatan paling awal dari Muslim asli Korea berawal dari abad ke-19, ketika
ada sebuah komunitas Muslim yang signifikan yang menempatkan dirinya di Manchuria. Kelompok ini meliputi
keturunan pedagang Asia Tengah yang telah menetap di kota-kota Manchuria. Di
sanalah warga Korea asli pertama kali datang untuk menerima Islam sebagai agama
mereka. Namun, itu hanya setelah Perang
Korea bahwa Islam mulai tumbuh secara signifikan di Korea.
Islam diperkenalkan ke Korea oleh Brigade
Turki yang datang untuk membantu Korea selama perang. Sejak
itu, Islam telah terus tumbuh di Korea dan diadopsi oleh kalangan penduduk asli
Korea yang cukup signifikan.
Pada tahun 1962, pemerintah Malaysia
menawarkan hibah sebesar US$ 33.000 untuk sebuah masjid yang akan dibangun
di Seoul. Namun, rencana itu gagal karena inflasi. Tidak sampai 1970-an,
ketika hubungan ekonomi Korea Selatan dengan banyak negara Timur Tengah
menonjol, menunjukkan bahwa minat terhadap Islam mulai bangkit kembali.
Beberapa warga Korea
yang bekerja di Arab Saudi masuk Islam, ketika
mereka menyelesaikan masa tugas kerja mereka dan kembali ke Korea, mereka
didukung sejumlah Muslim penduduk asli. Masjid
Pusat Seoul akhirnya dibangun di
Seoul lingkungan Itaewon pada tahun 1976. Saat ini ada juga masjid di Busan, Anyang, Gwangju, Jeonju dan Daegu. Menurut Lee Hee-Soo
(Yi Hui-su), Presiden Korea Islam Institute, ada sekitar 40.000 Muslim
yang terdaftar di Korea Selatan, dan sekitar 10.000 diperkirakan penganut yang
sangat aktif.
Korea Muslim Federation (KMF)
mengatakan akan membuka sekolah
dasar Islam pertama bernama SD Pangeran Sultan Bin Abdul
Aziz pada Maret 2009 dengan tujuan membantu belajar tentang agama mereka melalui
kurikulum sekolah resmi. Rencana sedang dilakukan untuk membuka sebuah pusat
budaya, sekolah menengah dan bahkan universitas. Abdullah Al-Aifan, Duta Besar Arab Saudi di Seoul, menyerahkan $500.000
untuk KMF atas nama pemerintah Arab Saudi.
Jauh sebelum dibentuknya sekolah formal berupa SD, sebuah madrasah bernama
Madrasah Sultan Bin Abdul Aziz, telah berfungsi sejak tahun 1990 dan di situlah
anak-anak diberi kesempatan untuk belajar bahasa Arab, budaya Islam, dan
Inggris. Banyak Muslim Korea yang mengatakan gaya hidup mereka yang berbeda
membuat mereka lebih menonjol daripada yang lain dalam masyarakat. Namun,
kekhawatiran terbesar mereka adalah prasangka yang mereka rasakan setelah serangan 11 September pada tahun 2001.[11]
IV.
KESIMPULAN
Islam
datang ke Cina di tahun kedua pemerintahan Kaisar Yung Way dari
Dinasti Tang; yaitu pada 31 H (651 M) di masa pemerintahan Khalifah Utsman. Muslim memencapai puncak kemakmuran pada
masa Dinasti Ming. Kaisar pertama dinasti itu, Ming Tsai Tsu, dan Kaisar
wania diperkirakan telah menjadi Islam.
Namun, pada rezim pemerintahan republik yang baru, yang bermula pada awal abad
ke-20. Dalam pemerintahan Republik Rakyat Cina orang Muslim tidak diperlakukan
sebagai satu “kelompok masyarakat”. Hanya kelompok etnik yang terdapat dalam
komunitas Muslim yang memperoleh pengakuan langsung. Mereka dinyatakan sebagai
“warga Negara minoritas”.
Islam
diperkenalkan di Jepang sekitar
pergantian abad yang lalu oleh orang Tartar Muslim dari Imperium Rusia. Salah
seorang pendakwah pertama, Abdul Rashid Ibrahim datang di Jepang pada tahun
1909. Setelah itu lebih banyak Muslim Tartar datang lebih banyak, kemudian orang Jepang pindah agama ke Islam. Orang
Jepang yang pertama kali masuk Islam adalah Torajiro Yamada. Kemudian disusul
oleh Mitsutaro Takaoka pada tahun 1909, yang kemudian mengganti namanya menjadi
Omar Yamaoka setelah pulang dari ibadah
haji. Kemudian Bunpachiro Ariga tahun 1946, yang kemudian berganti nama menjadi
Achmad Ariga, seorang pedagang yang mendapat pengaruh Islam dalam perjalanan ke
India. Kemudian ada lagi nama Hilal Torajiro 1957, Yarullah Tanaka Ippei 1934, dan lain-lain.
Kehadiran pertama Islam dapat diverifikasi di Korea berawal dari abad ke-9 selama periode Silla Bersatu dengan kedatangan
pedagang dan navigator Persia dan Arab. Menurut banyak geografer Muslim, termasuk penjelajah dan ahli geografi
Muslim Persia abad ke-9 Ibnu
Khurdadbih , banyak dari mereka
menetap secara permanen di Korea, mendirikan desa-desa Muslim. Beberapa catatan
menunjukkan bahwa banyak dari pemukim berasal dari Irak. Catatan lain
menunjukkan bahwa sejumlah besar dari Syiah faksi Alawi menetap di Korea. Selanjutnya yang menunjukkan
adanya masyarakat Muslim Timur Tengah di Silla adalah patung-patung wali
kerajaan dengan karakteristik khas Persia. Pada gilirannya, umat Islam banyak kemudian
menikah dengan wanita Korea. Beberapa asimilasi
ke Buddhisme dan Shamanisme terjadi, karena isolasi geografis Korea dari dunia Muslim.
V.
PENUTUP
Demikian makalah
ini penulis susun. Pemakalah berharap kepada pembaca untuk memberikan kritik
dan saran yang membangun kepada penulis demi lebih baiknya makalah selanjutnya.
Semoga ini berguna bagi pemakalah pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.
[1] M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 121-122.
[2] M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 124-126.
[3] Akbar S. Ahmed, Citra Muslim: Tinjauan Sejarah dan
Sosiologi, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 121.
[5] http://suryaputraalhikmah.blogspot.com/2012/03/islam-di-asia-timur-cina-dan-jepang.html, diakses pada Jum’at
24/10/2014 pukul 11:33WIB.
[6] M. Ali
Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2005), hlm. 226.
[7] http://suryaputraalhikmah.blogspot.com/2012/03/islam-di-asia-timur-cina-dan-jepang.html, diakses pada Jum’at
24/10/2014 pukul 11:33WIB.
[8] M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 226.
[9] http://suryaputraalhikmah.blogspot.com/2012/03/islam-di-asia-timur-cina-dan-jepang.html, diakses pada Jum’at
24/10/2014 pukul 11:33WIB.
Terima kasih aku suka kalo jepun memeluk islam...harap jepun negara islam termaju
BalasHapussemoga bermanfaat,,, amiiin
HapusMaterinya bagus dan bermanfaat, tapi alangkah baiknya backgroundnya lebih di perhatikan lagi kak:))
BalasHapusTerimakasihh