Kamis, 30 Oktober 2014

Landasan Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi dalam Filsafat Hukum Islam

I.               PENDAHULUAN
Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia dewasa ini tidak terlepas dari peran ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu.
Dalam tradisi sejarah dan keilmuan Islam, filsafat hukum Islam merupakan disiplin baru, sehingga jika dilihat dalam pembidangan ilmu keislaman tradisional, nama “filsafat hukum” belum dikenal. Kajian yang memiliki kemiripan dalam pembahasan seperti itu dalam tradisi Islam adalah ushul fikih.
Garis besar filsafat mempunyai tiga cabang besar, yaitu teori pengetahuan, teori hakikat, teori nilai. Teori pengetahuan pada dasarnya membicarakan cara memperoleh pengetahuan. Teori hakikat membahas semua objek, dan hasilnya ialah pengetahuan filsafat. Yang ketiga teori nilai atau disebut juga aksiologi, membicarakan guna pengetahuan tadi, jadi teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh pengetahuan disebut epistimologi, teori hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri disebut ontology dan teori nilai membicarakan guna pengetahuan itu disebut aksiology.

  II.          RUMUSAN MASAH
A.      Bagaimana Landasan Epistimologi?
B.       Bagaimana Landasan Ontologi?
C.       Bagaimana Landasan Aksiologi?



 III.            PEMBAHASAN
A.       Landasan Epistemologi
          Epistimologi berasal dari bahasa yunani episcmc yang berarti knowledge (pengetahuan) dan logos berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F.Ferier pada 1854 yang membuat dua cabang filsafat, yakni epistimologi dan ontology.[1] Jujun S.Suriasumantri (2010) mengatakan epistimologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan. Sedangkan Littlejohn (2005) mengatakan sebagai salah satu komponen dalam filsafat, epistimologi difokuskan pada telaah tentang bagimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar.[2]
Cara memperoleh pengetahuan yang lengkap dan benar menurut Plato adalah percaya kepada informasi indra, kemudian menguji dunia intelek hanya melalui bantuan kekuatan penalaran seseorang. Teori pengetahuan seperti ini disebut rasionalistik, karena menekankan bahwa dengan menggunakan prosedur prosedur tertentu dari rasio semata kita bias menemukan pengetahuan dalam pengertian yang paling kuat, yang bagaimana pun tidak mungkin salah. Biasanya teori rasionalistik semacam itu selalu mempetahankan bahwa kita tidak bias pengetahuan yang benar-benar pasti didalam pengalaman, tetapi harus mencari didalam dunia akal.[3] Epistemologi meliputi sumber, sarana, dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologi akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft), pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dengan epistemologi, sehingga dikenal dengan adanya model-model epiostemologi seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasinalisme, positivisme, fenomonologis dengan berbagai variasinya. Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:
1.        Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyatan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Yang bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan universal. Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang, bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut sintetik.
2.      Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
3.      Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, iamenolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala gejala saja.
4.      Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan sutu kemampuanakal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
5.      Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.[4]

Aliran-aliran dalam epistimologi
a.       Empierisisme seorang empirisisme biasanya berpendirian, kita dapat memperoleh pengetahuan melaluli pengalaman. Kata seorang penganut empirisisme. John Locke, mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong, dan didalam buku catatan itulah dicatat pengalaman – pengalaman indrawi.   
b.      Rasionalisme. Rasionalisme berpendirian, suber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karna rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.[5] 
c.       Positivisme. Bernggapan bahwa indra itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat lewat experimen. Kekeliruan indra dapat dikoreksi lewat experimen.
d.      Intuisionisme. Aliran ini beranggapan tidak hanya indra yang terbatas, akal juga terbatas. Objek-objek yang kita tangkap itu adalah objek yang selalu berubah, dengan menyadari keterbatasan indra dan akal aliran ini mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Ini adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi.[6]

B.       Landasan Ontologi
Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu: ta onta berararti “ yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan, ajaran. Dengan demikian ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada. Tokohyang membuat istilah ontologi populer adalah Christian Wollf (1679-1714).[7] Dikemukakan pula bahwa ontology ilmu mengkaji apa hakikat ilmu pengetahuan, apa hakikatnya kebenaran rasional atau kebenaran deduktif dan kenyataan empiris yang tidak terlepas dari persepsi tentang apa dan bagaimana (yang) ada itu (Nadiroh, 2011: 143 ). Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam persolan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan). Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin adalah realitas; realita adalah ke-real-an, riil artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.[8] Mula-mula kita bicara realitas benda. Apakah sesuai dengan penampakanya atau sesuatu yang bersembuyi dibalik penampakanya itu? menjawab pertanyaan ini muncul 5 aliran, yaitu materialisme, idealisme, dualisme, skeptisisme, dan agnotisisme.
1)      Materialisme
Menurut aliran materialisme (sering juga disebut naturalsme) hakikat benda adalah materi, benda itu sendiri. Rohani, jiwa, spirit, sebangsanya muncul dari benda. Bagi materialisme, roh, jiwa itu malah tidak diakui adanya, akan tetapi spirit, tuhan, itu muncul dari benda. Alasan mengapa aliran ini berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah:
a)   Pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir.
b)   Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak.
c)   Penemuan-penemuan menunjukan betapa bergantungnya jiwa pada badan.
2)      Idealisme
Faham ini berpendapat sebaliknya bahwa hakikat benda adalah rohani, spirit, atau sebangsanya. Alasan mereka ialah sebagai berikut :
a)    Nilai roh lebih tinggi dari pada badan
b)   Manusia lebih dapat memahami dirinya dari pada dunia luar dirinya
c)    Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang,  benda tidak ada, yang ada energi itu saja (Oswald )
3)      Dualisme
Aliran dualisme merupakan hakikat pada benda itu ada dua yaitu, material, dan imaterial, benda dan roh, Jasad dan spirit,. Materi bukan muncul dari roh, dan bukan muncul dari benda. Sama-sama hakikat. Kesulitan yang dihadapi aliran ini ialah menjawab pertanyaan: bagaimana kesulitn kedua-duanya seperti pada manusia? Jawaban dualisme: itu sudah distel seperti tenaga jarum pada jam. Persoalannya lebih rumit: siapa yang menyetelnya? Bagaimana menyetelnya?
4)      Skeptisisme
Aliran ini berpendapat bahwa diragukanya apakah manusia mampu mengetahui hakikat.
5)      Agnotisisme
Mereka berpendapat bahwa manusia tidak dapat mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Timbul aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkrit akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancedent. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Sren Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard (1813-1855) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain. Jadi agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda materi maupun rohani. Aliran ini mirip dengan skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui hakikat bahkan menyerah sama sekali.[9]

C.    Landasan Aksiologi
Aspek aksiologis dari filsafat membahas masalah nilai atau moral yang berlaku pada kehidupan manusia.[10] Aksiologi berasal dari perkataan axsios (yunani) yang berarti nilai, layak, pantas, patut dan logos yang berarti teori, pemikiran. Jadi aksiologi adalah “teori tentang nilai”. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain. Aksiologi juga merupakan teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu expresi keindahan. Bdang ini melahirkan keindahan (seni/estetika). Keempat, sosiopolitical life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosialpolitik.
Menurut Susanto (2011) mengatakan ada dua kategori dasar aksiologi: pertama, objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai. Kedua, objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan). Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu teori nilai intuitif, teori nilai rasional, teori nilai alamiah, dan teori nilai emotif. Teori nilai intuitif dan rasional beraliran objektifis, sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran subjektif.
1.      Teori Nilai Intuitif
Menurut teori ini, sangat sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat objektif. Nilai ditentukan melalui intuisi, karena ada tatanan moral yang bersifat baku.
2.      Teori Nilai Rasional
Menurut teori ini, janganlah percya pada nilai yang bersifat objektif dan murni independen dari manusia. Nilai ini ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagai fakta bahwa hanya orang yang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan denagn kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi, denagn nalar atau peran Tuhan nilai ultimo, objrktif, absolut yang seharusnya mangarahkan perilakunya.
3.      Teori Nilai Alamiah
Menurut teori ini nilai, diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan dan hasrat yang dialaminya. Nilai yaitu produk biososial, artefak manusia yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental di mana keputusan nilai tidak absolut tetapi bersofat relatif. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subjektif, bergantung pada kondisi manusia.

4.      Teori Nilai Emotif
Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka tori ini memandang bahwa konsep moral dan etiak bukanlah keputusan 43 faktual melainkan hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverivikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindkan manusia.[11]

IV.            PENUTUP
A.    Simpulan
Pengkajian terhadap suatu bidang pengetahuan harus dibangun dari fondasi filsafat yang kuat, jelas, terarah, sistematis, berdasarkan norma-norma keilmuan dan dapat dipertanggungjawabkan. Filsafat ilmu merupakan kajian yang dilakukan secara mendalam mengenai dasar-dasar ilmu. Pendekatan yang digunakan dalam menguak landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu adalah melalui tiga hal. Pertama, pendekatan ontologi, yaitu ilmu yang mengkaji tentang hakikat. Teori hakikat pertama kali dikemukakan oleh filsuf Thales yang mengatakan bahwa hakikat segala sesuatu itu adalah air. Kemudian dalam perkembangannya, bermuncullah paham-paham tentang ontologi meliputi monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnotisisme. Kedua, pendekatan epistemologi, yaitu cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam menemukan sumber pengetahuan itu terdapat beberapa metode yaitu induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif, dan dialektis. Ketiga, pendekatan aksiologi, yaitu teori tentang nilai (etika dan estetika). Pada adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat manusia itu sendiri, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan dipergunakan secara komunal dan universal.

B.     Penutup
Demikian makalah yang dapat penulis buat. Apabila ada kekurangan dan kekeliruan dalam penyampaian materi ini, penulis mohon maaf. Sebagai manusia biasa yang menjadi tempatnya salah dan lupa, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Untuk kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan makalah selanjutnya. Dan harapan penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amin.



[1] Mukhtar Latif, Orientasi Kearah Pemahaman Filsafat Ilmu,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group,   2014), hlm.165.
[2] Mukhtar Latif, Orientasi Kearah Pemahaman Filsafat Ilmu,(Jakarta: Rencana Prenada Media Group, 2014), hlm 192.
[3] Muhamad Muslehuddin, Filsafat Hokum Islam Dan Pemikiran Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991), hlm 7-8.
[4] S. Praja Juhaya, Aliran-Aliran Dalam Filsafat Dan Etika,(Jakarta, Prenada Media, 2005)
[5] Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992), hlm. 136.
[6] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 26-27.
[7] Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993), hlm. 118.
[8] Jalaludin, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2013), hlm. 157.
[9]  Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 32-33.
[10] Nurani Soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 209.
[11] Mukhtar Latif, Orientasi Kearah Pemahaman Filsafat Ilmu,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), hlm.229-232.

Tentang Pendidikan ^_^

PAIKEM
A.    Pengertian PAIKEM
PAIKEM merupakan singkatan dari pembelajaran Aktif, Inspiratif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Dalam PAIKEM digunakan prinsip-prinsip pembelajaran berbasis kompetensi. Pembelajaran berbasis kompetensi adalah pembelajaran yang dilakukan dengan orientasi pencapaian kompetensi peserta didik. Sehingga muara akhir hasil pembelajaran adalah meningkatnya kompetensi peserta didik yang dapat diukur dalam pola sikap, pengetahuan, dan keterampilannya.
B.     Tujuan PAIKEM
Pembelajaran berbasis PAIKEM membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, berpikir kritis dan berpikir kreatif. Berpikir kritis adalah suatu kecakapan nalar secara teratur, kecakapam sistematis dalam menilai, memecahkan masalah menarik keputusan, memberi keyakinan, menganalisis asumsi dan pencarian ilmiah. Berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental untuk meningkatkan kemurnian, ketajaman pemahaman dalam mengembangkan sesuatu. Kemampuan memecahkan masalah merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Dalam pembelajaran pemecahan masalah, siswa secara individual atau kelompok diberi tugas untuk memecahkan masalah. Jika memungkinkan masalah diidentifikasi dan dipilih siswa sendiri. Masalah yang diidentifikasi hendaknya yang penting dan mendesak untuk diselesaikan sertta dilihat atau diamati oleh siswa sendiri, upamanya masalah kemiskinan, kejahatan, kemacetan lalu lintas, pembusukan makanan, wabah penyakit, kegagalan panen, pemalsuan produk, atau soal-soal dalam setiap mata pelajaran yang membutuhkan analisis dan pemahaman tingkat tinggi.
C.    Intisari PAIKEM
Pada pasal 19 ayat 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dinyatakan bahwa setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Dengan demikian sebelum melakukan pelaksanaan pembelajaran terlebih dahulu dilakukan perencanaan pembelajaran.
Pada Standar Proses (Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007) bagian perencanaan pembelajaran dinyatakan bahwa kegiatan inti pembelajaran merupakan proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar (KD), dan kegiatan pembelajaran di¬lakukan secara interaktif, inspiratif, menyenang¬kan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan tersebut dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. 
D.    Prinsip-Prinsip PAIKEM
Prinsip pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan yang merujuk pada pembelajaran dengan basis kompetensi memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :
1.      Berpusat pada peserta didik agar mencapai kompetensi yang diharapkan. Peserta didik menjadi subjek pembelajaran sehingga keterlibatan aktivitasnya dalam pembelajaran tinggi. Tugas guru adalah mendesain kegiatan pembelajaran agar tersedia ruang dan waktu bagi peserta diddik belajar secara aktif dalam mencapai kompetensinya.
2.      Integral, agar kompetensi yang dirumuskan dalam KD dan SK tercapai secara utuh. Aspek kompetensi yang terdiri dari sikap, pengetahuan, dan keterampilan terintegrasi menjadi satu kesatuan.
3.      Pembelajaran dilakukan dengan sudut pandang adanya keunikan individual setiap peserta didik. Peserta didik memiliki karakteristik, potensi, dan kecepatan belajar yang beragam. Oleh karena itu dalam kelas dengan jumlah tertentu, guru perlu memberikan layanan individual agar dapat mengenal dan mengembangkan peserta didiknya.
4.      Pembelajaran dilakukan secara bertahap dan terus menerus menerapkan pembelajaran tuntas (mastery learning) sehingga mencapai ketuntasan yang ditetapkan. Peserta didik yang belum tuntas diberikan layanan remedial, sedangkan yang sudah tuntas diberikan layanan pengayaan atau melanjutkan pada kompetensi berikutnya.
5.      Pembelajaran dihadapkan pada situasi pemecahan masalah, sehingga peserta didik menjadi pembelajar yang kritis, kreatif, dan mampu memecahkan masalah yang dihadapi. Oleh karena itu guru perlu mendesain pembelajaran yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan atau konteks kehidupan peserta didik dan lingkungan. Berpikir kritis adalah kecakapan nalar secara teratur, kecakapan sistematis dalam menilai, memecahkan masalah, menarik keputusan, memberi keyakinan, menganalisis asumsi dan pencarian ilmiah. Berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental untuk meningkatkan kemurnian (originality) dan ketajaman pemahaman dalam mengembangkan sesuatu. Kemampuan memecahkan masalah adalah kemampuan tahap tinggi siswa dalam mengatasi hambatan , kesulitan maupun ancaman. Metode problem solving  (pemecahan masalah bukan hanya sekedar metode mengajar tetapi juga merupakan suatu metode berpikir, sebab dalam problem solving dapat menggunakan metode-metode lainnya dimulai dengan mencari data sampai kepada menarik kesimpulan.
E.     Karakteristik PAIKEM
Sesuai dengan singkatan PAIKEM, maka pembelajaran yang berfokus pada siswa, makna, aktivitas, pengalaman dan kemandirian siswa, serta konteks kehidupan dan lingkungan ini memiliki 4 ciri yaitu :
1.      mengalami (pengalaman belajar) antara lain :
a.       melakukan pengamatan
b.      melakukan percobaan
c.       melakukan penyelidikan
d.      melakukan wawancara
e.       Siswa belajar banyak melalui berbuat
f.       pengalaman langsung mengaktifkan banyak indera
2.      komunikasi, bentuknya antara lain :
a.       mengemukakan pendapat
b.      presentase laporan
c.       memajangkan hasil kerja
d.      ungkap gagasan
3.      Interaksi, bentuknya antara laian :
a.       Diskusi
b.      tanya jawab
c.       lempar lagi pertanyaan
d.      kesalahan makna berpeluang terkoreksi
e.       makna yang terbangun semakin mantap
f.       kualitas hasil belajar meningkat
4.      Refleksi, yaitu kegiatan memikirkan kembali apa yang diperbuat/dipikirkan.
a.       mengapa demikian
b.      apakah hal itu berlaku untuk ….
c.       untuk perbaikan gagasan makna
d.      untuk tidak mengulangi kesalahan
e.       peluang lahirkan gagasan baru
Dari karakteristik PAIKEM tersebut, maka guru perlu memberikan dorongan kepada siswa untuk menggunakan otoritas atau haknya dalam membangun gagasan. Tanggung jawab belajar, memang berada pada diri siswa, tetapi guru bertanggung dalam memberikan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi, perhatian, persepsi, retensi, dan transfer dalam belajar, sebagai bentuk tanggung jawab siswa untuk belajar sepanjang hayat.

Sumber: