I.
PENDAHULUAN
Perkembangan dan kemajuan peradaban
manusia dewasa ini tidak terlepas dari peran ilmu. Bahkan perubahan pola hidup
manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring dengan sejarah
kemajuan dan perkembangan ilmu.
Dalam tradisi
sejarah dan keilmuan Islam, filsafat hukum Islam merupakan disiplin baru,
sehingga jika dilihat dalam pembidangan ilmu keislaman tradisional, nama
“filsafat hukum” belum dikenal. Kajian yang memiliki kemiripan dalam pembahasan
seperti itu dalam tradisi Islam adalah ushul fikih.
Garis besar
filsafat mempunyai tiga cabang besar, yaitu teori pengetahuan, teori hakikat,
teori nilai. Teori pengetahuan pada dasarnya membicarakan cara memperoleh
pengetahuan. Teori hakikat membahas semua objek, dan hasilnya ialah pengetahuan
filsafat. Yang ketiga teori nilai atau disebut juga aksiologi, membicarakan
guna pengetahuan tadi, jadi teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh
pengetahuan disebut epistimologi, teori hakikat membicarakan pengetahuan itu
sendiri disebut ontology dan teori nilai membicarakan guna pengetahuan itu
disebut aksiology.
II.
RUMUSAN
MASAH
A.
Bagaimana Landasan Epistimologi?
B.
Bagaimana Landasan Ontologi?
C.
Bagaimana Landasan Aksiologi?
III.
PEMBAHASAN
A. Landasan Epistemologi
Epistimologi
berasal dari bahasa yunani episcmc yang berarti knowledge (pengetahuan) dan logos berarti teori.
Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F.Ferier pada 1854 yang membuat
dua cabang filsafat, yakni epistimologi dan ontology.[1]
Jujun S.Suriasumantri (2010) mengatakan epistimologi merupakan cabang filsafat
yang mempelajari pengetahuan. Sedangkan Littlejohn (2005) mengatakan sebagai
salah satu komponen dalam filsafat, epistimologi difokuskan pada telaah tentang
bagimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar.[2]
Cara memperoleh pengetahuan yang lengkap dan benar
menurut Plato adalah percaya kepada informasi indra, kemudian menguji dunia
intelek hanya melalui bantuan kekuatan penalaran seseorang. Teori pengetahuan
seperti ini disebut rasionalistik, karena menekankan bahwa dengan menggunakan
prosedur prosedur tertentu dari rasio semata kita bias menemukan pengetahuan
dalam pengertian yang paling kuat, yang bagaimana pun tidak mungkin salah.
Biasanya teori rasionalistik semacam itu selalu mempetahankan bahwa kita tidak
bias pengetahuan yang benar-benar pasti didalam pengalaman, tetapi harus
mencari didalam dunia akal.[3]
Epistemologi meliputi sumber, sarana, dan tatacara menggunakan sarana tersebut
untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan
ontologi akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana
yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft), pengalaman, atau
kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud
dengan epistemologi, sehingga dikenal dengan adanya model-model epiostemologi
seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasinalisme, positivisme,
fenomonologis dengan berbagai variasinya. Pengetahuan yang diperoleh oleh
manusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam
teori pengetahuan, di antaranya adalah:
1.
Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyatan hasil
observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Yang bertolak
dari pernyataan-pernyataan tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan universal. Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan
hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia
mengembang, bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa logam lain yang kalau
dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi
tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut
sintetik.
2.
Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah
lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada
dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara
kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu
dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada
perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan
menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori
tersebut.
3.
Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal
dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan
segala uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu,
iamenolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang
tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan
ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala gejala saja.
4.
Metode
Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya
keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga
objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan sutu
kemampuanakal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat
intuisi ini bisa diperoleh dengan cara
berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
5.
Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk
mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato
mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang
mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik
tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.[4]
Aliran-aliran dalam
epistimologi
a.
Empierisisme seorang empirisisme biasanya berpendirian, kita dapat
memperoleh pengetahuan melaluli pengalaman. Kata seorang penganut empirisisme.
John Locke, mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan akalnya merupakan
sejenis buku catatan yang kosong, dan didalam buku catatan itulah dicatat
pengalaman – pengalaman indrawi.
b.
Rasionalisme. Rasionalisme berpendirian, suber pengetahuan terletak
pada akal. Bukan karna rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan
pengalaman paling-paling dipandang dipandang sebagai sejenis perangsang bagi
pikiran.[5]
c.
Positivisme. Bernggapan bahwa indra itu amat penting dalam
memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat
lewat experimen. Kekeliruan indra dapat dikoreksi lewat experimen.
d.
Intuisionisme. Aliran ini beranggapan tidak hanya indra yang terbatas,
akal juga terbatas. Objek-objek yang kita tangkap itu adalah objek yang selalu
berubah, dengan menyadari keterbatasan indra dan akal aliran ini mengembangkan
satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Ini adalah
hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi.[6]
B. Landasan Ontologi
Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu: ta onta berararti “ yang berada”,
dan logi berarti ilmu pengetahuan, ajaran. Dengan demikian ontologi adalah ilmu
pengetahuan atau ajaran tentang yang berada. Tokohyang membuat istilah ontologi
populer adalah Christian Wollf (1679-1714).[7] Dikemukakan
pula bahwa ontology ilmu mengkaji apa hakikat ilmu pengetahuan, apa hakikatnya
kebenaran rasional atau kebenaran deduktif dan kenyataan empiris yang tidak
terlepas dari persepsi tentang apa dan bagaimana (yang) ada itu (Nadiroh, 2011:
143 ). Ontologi merupakan salah satu di
antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam
pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang ontologi.
Dalam persolan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita
menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan
pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi
(kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan). Pembicaraan
tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin
adalah realitas; realita adalah ke-real-an, riil artinya kenyataan yang
sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan
sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.[8] Mula-mula kita bicara realitas benda. Apakah sesuai dengan penampakanya
atau sesuatu yang bersembuyi dibalik penampakanya itu? menjawab pertanyaan ini
muncul 5 aliran, yaitu materialisme, idealisme, dualisme, skeptisisme, dan
agnotisisme.
1)
Materialisme
Menurut aliran materialisme (sering juga disebut naturalsme) hakikat
benda adalah materi, benda itu sendiri. Rohani, jiwa, spirit, sebangsanya
muncul dari benda. Bagi materialisme, roh, jiwa itu malah tidak diakui adanya,
akan tetapi spirit, tuhan, itu muncul dari benda. Alasan mengapa
aliran ini berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat
adalah:
a)
Pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang
dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir.
b)
Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di
luar ruang yang abstrak.
c)
Penemuan-penemuan menunjukan betapa bergantungnya jiwa
pada badan.
2)
Idealisme
Faham ini berpendapat sebaliknya
bahwa hakikat benda adalah rohani, spirit, atau sebangsanya. Alasan mereka
ialah sebagai berikut :
a) Nilai roh lebih tinggi dari pada badan
b) Manusia lebih dapat memahami dirinya dari pada dunia luar
dirinya
c) Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang, benda tidak ada, yang ada energi itu saja
(Oswald )
3)
Dualisme
Aliran dualisme
merupakan hakikat pada benda itu ada dua yaitu, material, dan imaterial, benda
dan roh, Jasad dan spirit,. Materi bukan muncul dari roh, dan bukan muncul dari
benda. Sama-sama hakikat. Kesulitan yang dihadapi aliran ini ialah menjawab pertanyaan:
bagaimana kesulitn kedua-duanya seperti pada manusia? Jawaban dualisme: itu
sudah distel seperti tenaga jarum pada jam. Persoalannya lebih rumit: siapa
yang menyetelnya? Bagaimana menyetelnya?
4)
Skeptisisme
Aliran ini
berpendapat bahwa diragukanya apakah manusia mampu mengetahui hakikat.
5)
Agnotisisme
Mereka berpendapat
bahwa manusia tidak dapat mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Timbul aliran ini dikarenakan
belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkrit akan adanya
kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini
dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat
trancedent. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan
tokoh-tokohnya seperti, Sren Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren
Kierkegaard (1813-1855) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat
Eksistensialisme menyatakan, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum,
tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan
ke dalam sesuatu yang lain. Jadi agnostisisme adalah paham
pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat
benda materi maupun rohani. Aliran ini mirip dengan skeptisisme yang
berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui hakikat bahkan menyerah
sama sekali.[9]
C.
Landasan
Aksiologi
Aspek aksiologis dari filsafat membahas masalah nilai
atau moral yang berlaku pada kehidupan manusia.[10] Aksiologi
berasal dari perkataan axsios (yunani) yang berarti nilai, layak, pantas, patut
dan logos yang berarti teori, pemikiran. Jadi aksiologi adalah “teori tentang
nilai”. Nilai yang
dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat
mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Makna
“etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Arti
kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan,
atau manusia-manusia lain.
Aksiologi juga merupakan teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh. Menurut bramel, aksiologi terbagi dalam tiga
bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan
disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu expresi
keindahan. Bdang ini melahirkan keindahan (seni/estetika). Keempat,
sosiopolitical life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan
filsafat sosialpolitik.
Menurut Susanto (2011) mengatakan ada dua kategori dasar
aksiologi: pertama, objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu
yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai. Kedua,
objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian
terdapat unsur intuisi (perasaan). Dari sini muncul empat pendekatan etika,
yaitu teori nilai intuitif, teori nilai rasional, teori nilai alamiah, dan
teori nilai emotif. Teori nilai intuitif dan rasional beraliran objektifis,
sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran subjektif.
1.
Teori
Nilai Intuitif
Menurut teori ini,
sangat sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu
perangkat nilai yang absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang
absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat objektif. Nilai ditentukan melalui
intuisi, karena ada tatanan moral yang bersifat baku.
2.
Teori
Nilai Rasional
Menurut teori ini,
janganlah percya pada nilai yang bersifat objektif dan murni independen dari
manusia. Nilai ini ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa
seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu
benar, sebagai fakta bahwa hanya orang yang jahat atau yang lalai yang
melakukan sesuatu berlawanan denagn kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi, denagn
nalar atau peran Tuhan nilai ultimo, objrktif, absolut yang seharusnya
mangarahkan perilakunya.
3.
Teori
Nilai Alamiah
Menurut teori ini
nilai, diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan dan hasrat yang dialaminya.
Nilai yaitu produk biososial, artefak manusia yang diciptakan, dipakai, diuji
oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia.
Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental di mana keputusan nilai
tidak absolut tetapi bersofat relatif. Nilai secara umum hakikatnya bersifat
subjektif, bergantung pada kondisi manusia.
4.
Teori
Nilai Emotif
Jika
tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka tori
ini memandang bahwa konsep moral dan etiak bukanlah keputusan 43 faktual
melainkan hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih
dari suatu opini yang tidak bisa diverivikasi, sekalipun diakui bahwa
penelitian menjadi bagian penting dari tindkan manusia.[11]
IV.
PENUTUP
A. Simpulan
Pengkajian terhadap suatu bidang pengetahuan harus dibangun dari fondasi
filsafat yang kuat, jelas, terarah, sistematis, berdasarkan norma-norma
keilmuan dan dapat dipertanggungjawabkan. Filsafat ilmu merupakan kajian yang
dilakukan secara mendalam mengenai dasar-dasar ilmu. Pendekatan yang digunakan
dalam menguak landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu adalah melalui tiga hal.
Pertama, pendekatan ontologi, yaitu ilmu yang mengkaji tentang hakikat. Teori
hakikat pertama kali dikemukakan oleh filsuf Thales yang mengatakan bahwa
hakikat segala sesuatu itu adalah air. Kemudian dalam perkembangannya,
bermuncullah paham-paham tentang ontologi meliputi monoisme, dualisme,
pluralisme, nihilisme, dan agnotisisme. Kedua, pendekatan epistemologi, yaitu
cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan
syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam menemukan sumber pengetahuan itu
terdapat beberapa metode yaitu induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif, dan
dialektis. Ketiga, pendekatan aksiologi, yaitu teori tentang nilai (etika dan
estetika). Pada adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia.
Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia
dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat manusia
itu sendiri, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan dipergunakan
secara komunal dan universal.
B. Penutup
Demikian makalah yang dapat penulis buat. Apabila
ada kekurangan dan kekeliruan dalam penyampaian materi ini, penulis mohon maaf.
Sebagai manusia biasa yang menjadi tempatnya salah dan lupa, penulis menyadari
masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Untuk kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan
makalah selanjutnya. Dan harapan penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amin.
[1] Mukhtar Latif, Orientasi Kearah Pemahaman Filsafat Ilmu,(Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2014), hlm.165.
[2] Mukhtar Latif, Orientasi Kearah Pemahaman Filsafat Ilmu,(Jakarta:
Rencana Prenada Media Group, 2014), hlm 192.
[3] Muhamad Muslehuddin, Filsafat Hokum Islam Dan Pemikiran Orientalis,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991), hlm 7-8.
[11]
Mukhtar Latif, Orientasi Kearah Pemahaman Filsafat Ilmu,(Jakarta:
Kencana Prenada Media Group,
2014), hlm.229-232.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar