Kamis, 17 Oktober 2013

ibu


Ibu,,,
saat aku kecil kau yang memelukku dengan penuh keikhlasanmu,,,
saat aku lapar kau yang menyuapiku,,,
saat aku merengek kau yang menggendongku,,,
 kau pula lah yang memapahku untuk belajar berjalan,,,
tak ada yang bisa menggantikan kasih sayangmu,,,
tak ada yang bisa mengimbangi tulusnya hatimu,,,
aku menyayangimu,,,
ibu,,,

Kamis, 03 Oktober 2013

lagu untuk Ibu,,,

 Ibu,,,

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah... penuh nanah

Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu

Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas...ibu...ibu....

Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu

Kamis, 26 September 2013

Imam Abu Hurairah



I.                   PENDAHULUAN
Islam pada masa Rasulallah masih hidup apabila terdapat kekurangan paham terhadap suatu hukum, para sahabat langsung menanyakan kepada Rasulallah, sehingga bisa cepat terselesaikan. Kemudian sepeninggalan Rasulallah para sahabat menggunakan pengalaman yang diperoleh dari perkataan, perbuatan dan kebiasaan beliau ketika masih hidup.
Ketika sampai kepada masa tahap ini mereka berpegang kepada Al-Qur’an, As Sunah, dan kepada perkataan sahabat. Seiring perkembangan jaman persoalan semakin bertambah jumlahnya dari waktu ke waktu, sementara tidak seluruhnya solusi permasalahan ditemukan dalam Al-Qur’an, As Sunnah, maupun perkataan sahabat. Sehingga dilakukan jalan ijtihad sendiri, termasuk melakukan qiyas (analogi) sebagai syara. Sehingga seiring perkembangan waktupun banyak terjadi perbedaan madzhab. Sebagai contoh ada madzhab sunni yang terdiri dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Dalam makalah ini bermaksud menuliskan salah satu dari macam macam madzhab tersebut, yaitu madzhab Hanafi.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana Sejarah Imam Hanafi?
B.     Bagaimanakah Setting Sosial Budaya Imam Hanafi?
C.     Bagaimana Pula Setting Politik Imam Hanafi?
D.    Bagaimana  Keilmuan Pada Masa Imam Hanafi?
E.     Bagaimana Metode Istinbat Imam Hanafi?




III.             PEMBAHASAN
A.    Sejarah Imam Hanafi
1.      Biografi Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah An Nu’man ibin Tsabit bin Zutha At Tamimy atau lebih masyhur dengan sebutan Imam Hanafi. Beliau  dilahirkan pada tahun 80 H atau 699 M di kuffah dan wafat pada tahun 150 H di Baghdad.
Imam Abu Hanifah tumbuh kembang dalam rumah yang terbiasa dengan bisnis di Kuffah. Selain terbiasa menjual pakaian, keluarganya juga memiliki pemahaman yang baik terhadap agama, sejak ayahnya Tsabit bertemu dengan Ali bin Abu Thalib dan mendoakan keluarganya.
Pada mulanya Imam Abu Hanifah giat menghafal Al-Qur’an, seperti halnya kebanyakan orang-orang yang taat beragama pada zaman itu. Setelah menghafal Al-Qur’an beliau menghafal sunnah untuk memperbaiki agamanya.
Ketika beliau sudah mulai mengenal cara menatur hidup dengan mulai berdagang, mencari nafkah untuk keluarganya sehingga tidak punya banyak kesempatan menemui para ulama kecuali ketika libur. Beliau bisa berdiskusi dengan orang lain, berkawan dengan para petani lebah yang berhasil memberinya kemampuan orasi yang baik dan fitrah yang suci. Pekerjaan sebagai pedagang berhasil menanamkan dua sifat baik baginya, yaitu jauh dari para penguasa dan tidak berminat dengan jabatan.[1]
Setelah beliau besar, beliau belajar fiqh kepada Hammad ibn Abi Sulaiman. Beliau belajar fiqh pada permulaan abad kedua hijriah. Dan beliau banyak mendengar hadits dari ulama-ulama hadits, seperti: Atha’ ibn Rabi’ah dan Nafi’ Maula ibnu Umar. Beliau mengalami peralihan pemerintahan Islam dari Bani Umayyah kepada Bani Abbasiyah.
Setelah beliau terkenal dalam ilmu fiqh nya, banyak orang yang menuntut ilmu kepadanya. Ketika Abu Ja’far Al Mansur membina kota Baghdad, Abu Hanifah didatangkan kesana bersama beberapa pemuka ulama di masa itu. Ada sebuah riwayat bahwa Abu Ja’far meminta supaya Abu Hanifah menjadi qadli. Berulang kali diminta demikian akan tetapi Abu Hanifah tetap menampiknya, karenanya beliau disiksa. Dan Beliau wafat pada pada tahun 150 H/ 767 M bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i.
Imam Hanafi sangat bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, terutama empat jenis ilmu fiqh yakni; fiqh Umar bin Khatab yang berlandaskan pada konsep maslahat, istinbat, dan memperdalam pemahaman hakekat syariat, dan ilmu fiqh Ibnu Abbas yng berisi Al-Qur’an berikut fiqhnya. Ditambah ilmu Fiqh Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud. [2]

2.      Guru-Guru Imam Hanafi
Imam Hanafi hidup dalam lingkunagan yang berbeda-beda, mengenal mengenal seluk beluk dan wawasan mereka. Kemudian beliau berguru dengan seorang ulama terkemuka pada zamannya, yaitu Hammad bin Sulaiman yang merupakan guru paling senior bagi Imam Abu Hanifah dan banyak memberikan pengaruh dalam membangun mazhab fiqhnya. Hammad bin Sulaiman belajar fiqh dari Ibrahin An-Nakha’I, sedangkan Imam Ibrahim An-Nakha’i belajar dari Alqamah An-Nasa’I yang pernah belajar dengan Abdullah bin Mas’ud, seorang sahabat terkemuka yang dikenal memiliki ilmu fiqh dan ilmu logika yang mumpuni.
Imam Hanafi juga belajar dari tabi’in seperti ‘Atha’ bin Abi Rabah, dan Nafi’ pembantunya Ibnu Umar. Beliau juga belajar fiqh selama dalam perjalanan haji dengan beberapa ulama, terutamna fuqoha’ Mekah termasuk ketika beliau mukim disana selama 6 tahun setelah beliau hijrah ke Mekah pada tahun 130 H.[3]


3.       Murid-Murid Imam Hanafi
Imam Hanafi mempunyai banyak murid. Ada yang tinggal beberapa waktu untuk belajar dan jika sudah selesai mereka pun pulang dengan membawa bekal dari gurunya berupa ilmu dan fiqh. Ada pula diantara murid Imam Hanafi yang selalu menyretai beliau sampai beliau wafat. Hal ini tidak aneh, karena beliau Imam Hanafi adalah sosok yang dicintai dan mendapat tempat khusus diantara para muridnya.[4]
Diantara murid Imam Hanafi adalah Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim Al Anshari Al Kufi (113 H-182 H). beliaulah yang telah berjasa besar dalam mengembangkan mazhab Abu Hanifah. Beliau menjadi qadli di Kufah dalam masa pemerintahan Harun Al Rasyid dan kepada beliau diserahkan urusan mengangkat qadli-qadli di seluruh daerah. Pendapat-pendapat beliau dapat dipelajari dalam kitab fiqh Hanafi. Kitabnya yang ditulis sendiri ialah Al- Kharaj.[5]

B.     Sosial Budaya Imam Hanafi
Kondisi sosial budaya  pada masa Imam Abu Hanifah, dimasanya, dalam menetapkan hukum islam, beliau dipengaruhi kondisi sosial di kufah yang kurang tentang perbendaharaan ilmu hadist, disamping itu, kufah sebagai kota yang berada ditengah kebudayaan persia yang masyarakatnya sudah mencapai peradaban yang cukup tinggi.oleh sebab itu banyak muncul problema kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukum. Serta banyaknya pemalsuan hadist yang sehingga menyulitkan imam abu hanifah dalam penetapan hukum, karna ini beliau dalam menetapkan hukum islam banyak menggunakan ra’yi.

C.     Politik Imam Hanafi
Pada tahun 132 H Bani Umayyah diruntuhkan oleh Bani Abbasiyah. Khalifah Bani Abbasiyah yang pertama meninggal hanya dalam tempo empat tahun setelah ia berkuasa, lalu ia digantikan oleh saudaranya. Pada tahun 145 H para pengikut Muhammad Nafs Zakiyyah melakukan perlawanan terhadap Manshur. Akhirnya meninggal dalam pertempuran melawan Manshur, lalu sesudahnya Ibrahim melanjutkan perjuangan. Disitulah Imam Hanafi mendukung Ibrahim karena keadilannya. Kemudian Ibrahim dikalahkan oleh khalifah dan akhirnya Imam Hanafi dibawa kehadapan khalifah oleh para pejabat istana seraya berkata, “orang ini adalah ulama terbesar saat ini”. Manshur memberikan jabatan qodli pada beliau, akan tetapi Imam Hanafi menolak. Hingga akhirnya Imam Hanafi diracuni karena Manshur melihat adanya bahaya yang lain atas kekuasaannya saat Imam Hanafi mengajar dipenjara dan banyak orang yang belajar dengannya.[6]


D.    Keilmuan Imam Hanafi
Sejak masa remaja, Imam Abu Hanifah telah menunjukkan kecintaan yang mendalam pada ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan dengan hukum-hukum Islam. Beliau tergolong cepat dalam menangkap ilmu yang diperolehnya, dari siapapun datangnya. Pembicaraannya selalu mengandung nasihat dan hikmah.
Dikatakan pula bahwa Imam Abu Hanifah teguh dalam memegang prinsip, berani menyatakan yang benar kepada siapapun, dan memiliki kepribadian yang luhur. Kendati Imam Abu Hanifah anak seorang saudagar kaya, dia amat menjauhi kemewahan hidup. Begitupun ketika dia sendiri menjadi pedagang sukses, hartanya lebih banyak didermakan daripada digunakan untuk kepentiungan pribadi dan keluarganya.
Sukses menekuni dunia usaha tak membuat dirinya mementingkan ambisinya sebagai ’tajir’. Beliau tetap memberikan perhatian besar pada dunia ilmu. Kesungguhan dan kecerdasannya dalam menuntut ilmu agama, khusunya dalam bidang fikih. Mengantarkan Imam Abu Hanifah sebagai ahli ilmu fikih. Imam syafi’i bahkan pernah berkomentar, ”Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama’ fikih.”
Berkaitan dengan kepeduliannya dalam masalah hukum Islam ini, Imam Abu Hanifah membentuk sebuah badan yang didalamnya terdiri dari para intelektual (ulama’). Beliau sendiri mengetuai lembaga tersebut. Badan yang dibentuk sang Imam ini berfungsi memusyawarahkan dan menetapkan ajaran Islam dalam tulisan, dan mengalihkan syari’at Islam ke dalam bentuk perundang-undangan.
Al-Khawarizmi menyebutkan bahwa, ”Jumlah hukum Islam yang disusunya lebih dari 83 ribu, sebanyak 38 ribu diantaranya mengenai urusan agama, dan 45 ribu tentang urusan dunia. Selain belajar ilmu fikih, Imam Abu Hanifah juga mendalami hadist, tafsir, serta sastra Arab dan ilmu hikmah. Karena itulah, Imam Abu Hanifah dikenal luas pandangannya.
Kemudian dalam memberikan pelajaran kepada murid-muridnya, beliau berbeda dengan guru-guru yang lainya pada waktu itu, Abu Hanifah selalu menekankan kepada murid-muridnya untuk brfikir kritis. Ia tidak ingin muridnya menerima begitu saja ilmu yang disampaikannya, melainkan mereka boleh mengemukakan tanggapan, pendapat, dan kritik.
Sering kali ia ditemukan berdiskusi, bahkan berdebat dengan murid-muridnyatentang suatu masalah. Walaupun ia memberi kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat kepada murid-muridnya, ia tetap disegani dan dihormati, malah sangat dicintai murid-muridnya.[7]


E.     Metode Istinbaat Hukum Imam Hanafi
Fiqh Imam Abu Hanifah memiliki cara yang modern dan manhaj tersendiri dalam kancah perfiqihan dan tidak ada sebelumnya. Imam Asy-Syafi’i berkata, “Semua orang dalam hal fiqh bergantung kepada Imam Abu Hanifah.” Imam Malik setelah berdiskusi dengan Imam Abu Hanifah berkata, “Sungguh ia seorang yang ahli fiqh.”
Imam Abu Hanifah memiliki manhaj tersendiri dalam meng-istinbat hukum. Beliau prenah berkata, “ Saya mengambil dari kitab Allah, jika tidak ada maka dari sunnah Rasulullah dan jika tidak ada pada keduanya saya akan mengambil pendapat sahabat. Saya memilih salah satu dan meninggalkan yang lain, dan saya tidak akan keluar dari pendapat merekadan mengambil pendapat orang lain, dan jika sudah sampai kepada pendapat Ibrahim, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Sa’id bin Al-Musayyib maka saya akan berijtihad seperti mereka berijtihad.”
Dari penjelasan diatas Imam Abu Hanifah dalam meng-istinbatkan hukum adalah sebagai berikut.
a.       Al-Qur’an, merupakan sumber utama syari’at dan kepadanya dikembalikan semua hukum dan tidak ada satu sumber hukum satupun, kecuali dikembalikan kepadanya.
b.      Sunnah, sebagai penjelas kandungan Al-Qun’an, menjelaskan yang global dan alat dakwah bagi Rasulullah saw dalam menyampaikan risalah Tuhannya. Maka barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnah, sama artinya dia tidak mengakui risalah Tuhanny.
c.       Pendapat Sahabat, karena mereka hidup satu zaman dengan Rasulullah saw, lebih memahami sebab turunnya ayat, kesesuaian setiap ayat dan hadits, dan merekalah yang membawa ilmu Rasulullah saw kepada umatnya.
d.      Qiyas, beliau menggunakan qiyas ketika tidak ada nash Al-Qur’an atau Sunnah atau ucapan sahabat.
e.       Al-Istihsan, yaitu meninggalkan qiyas zhahir dan mengambil hukum yang lain, karena qiyas zhahir terkadang tidak dapat diterapkan dalam sebagian masalah. Oleh karena itu, perlu mencari illat lain dengan qiyas khafi, atau karena qiyas zhahir bertentangan dengan nash sehingga harus ditinggalkan.
f.       Ijma’, yang menjadi hujjah berdasarkan kesepakatan ulama walaupun mereka berbeda pendapat apakah ijma’ ini pernah ada setelah Rasulullah.
g.      Al-‘urf (adat istiadat), yaitu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin dan tidak ada nash, baik dari Al-Qur’an, sunnah, atau perbuatan sahabat, dan berupa adat yang baik, serta tidak bertentangan dengan nash, sehingga dapat dijadikan hujjah.[8]   
IV.             KESIMPULAN
Imam Hanafi nama lengkapnya yaitu Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit bin Zutha At Tamimy. Beliau  dilahirkan pada tahun 80 H atau 699 M di kuffah dan wafat pada tahun 150 H di Baghdad.
Pada masa Imam Hanafi Kondisi sosial budaya dimasanya dalam menetapkan hukum islam, beliau dipengaruhi kondisi sosial di kufah yang kurang tentang perbendaharaan ilmu hadist, disamping itu kufah sebagai kota yang berada ditengah kebudayaan persia yang masyarakatnya sudah mencapai peradaban yang cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak muncul problema kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukum.
Keilmuan Imam Hanafi sejak masa remaja, Imam Abu Hanifah telah menunjukkan kecintaan yang mendalam pada ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan dengan hukum-hukum Islam. Beliau tergolong cepat dalam menangkap ilmu yang diperolehnya, dari siapapun datangnya. Pembicaraannya selalu mengandung nasihat dan hikmah.
Sedangkan metode istinbat Imam Hanafi gunakan yaitu dengan Al-Qur’an, Sunnah, pendapat sahabat, Qiyas, Al-Istihsan, Ijma’, dan Al-‘Urf.

V.                PENUTUP
Demikian makalah yang dapat penulis buat. Apabila ada kekurangan dan kekeliruan dalam penyampaian materi ini, penulis mohon maaf. Sebagai manusia biasa yang menjadi tempatnya salah dan lupa, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Untuk kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan makalah selanjutnya. Dan harapan penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amin.



[1] Rasyad Hasan Khalili, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 172.
[2] Hasbi Ash Shidieqi, Pengantar Hukum Islam 1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 99-100.
[3] Rasyad Hasan Khalili, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 173-174.
[4] Rasyad Hasan Khalili, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 175
[5] Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 117.
[6] Abdur Rohman, Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), hlm. 141-142
[7] http://makalah88.blogspot.com/2012/01/imam-abu-hanifah.html
[8] Rasyad Hasan Khalili, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 176-177.