I.
PENDAHULUAN
Islam pada masa Rasulallah masih
hidup apabila terdapat kekurangan paham terhadap suatu hukum, para sahabat
langsung menanyakan kepada Rasulallah, sehingga bisa cepat terselesaikan.
Kemudian sepeninggalan Rasulallah para sahabat menggunakan pengalaman yang
diperoleh dari perkataan, perbuatan dan kebiasaan beliau ketika masih hidup.
Ketika sampai kepada masa tahap ini mereka berpegang kepada Al-Qur’an, As
Sunah, dan kepada perkataan sahabat. Seiring perkembangan jaman
persoalan semakin bertambah jumlahnya dari waktu ke waktu, sementara tidak
seluruhnya solusi permasalahan ditemukan dalam Al-Qur’an, As Sunnah, maupun
perkataan sahabat. Sehingga dilakukan jalan ijtihad sendiri, termasuk melakukan
qiyas (analogi) sebagai syara. Sehingga seiring perkembangan waktupun banyak
terjadi perbedaan madzhab. Sebagai contoh ada madzhab sunni yang terdiri dari
madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Dalam makalah ini bermaksud
menuliskan salah satu dari macam macam madzhab tersebut, yaitu madzhab Hanafi.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Bagaimana
Sejarah Imam Hanafi?
B. Bagaimanakah
Setting Sosial Budaya Imam Hanafi?
C. Bagaimana
Pula Setting Politik Imam Hanafi?
D. Bagaimana
Keilmuan Pada Masa Imam Hanafi?
E. Bagaimana
Metode Istinbat Imam Hanafi?
III.
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Imam Hanafi
1. Biografi
Imam Hanafi
Imam
Abu Hanifah An Nu’man ibin Tsabit bin Zutha At Tamimy atau lebih masyhur dengan
sebutan Imam Hanafi. Beliau dilahirkan
pada tahun 80 H atau 699 M di kuffah dan wafat pada tahun 150 H di Baghdad.
Imam
Abu Hanifah tumbuh kembang dalam rumah yang terbiasa dengan bisnis di Kuffah. Selain
terbiasa menjual pakaian, keluarganya juga memiliki pemahaman yang baik
terhadap agama, sejak ayahnya Tsabit bertemu dengan Ali bin Abu Thalib dan
mendoakan keluarganya.
Pada
mulanya Imam Abu Hanifah giat menghafal Al-Qur’an, seperti halnya kebanyakan
orang-orang yang taat beragama pada zaman itu. Setelah menghafal Al-Qur’an
beliau menghafal sunnah untuk memperbaiki agamanya.
Ketika
beliau sudah mulai mengenal cara menatur hidup dengan mulai berdagang, mencari
nafkah untuk keluarganya sehingga tidak punya banyak kesempatan menemui para
ulama kecuali ketika libur. Beliau bisa berdiskusi dengan orang lain, berkawan
dengan para petani lebah yang berhasil memberinya kemampuan orasi yang baik dan
fitrah yang suci. Pekerjaan sebagai pedagang berhasil menanamkan dua sifat baik
baginya, yaitu jauh dari para penguasa dan tidak berminat dengan jabatan.[1]
Setelah
beliau besar, beliau belajar fiqh kepada Hammad ibn Abi Sulaiman. Beliau
belajar fiqh pada permulaan abad kedua hijriah. Dan beliau banyak mendengar
hadits dari ulama-ulama hadits, seperti: Atha’ ibn Rabi’ah dan Nafi’ Maula ibnu
Umar. Beliau mengalami peralihan pemerintahan Islam dari Bani Umayyah kepada
Bani Abbasiyah.
Setelah
beliau terkenal dalam ilmu fiqh nya, banyak orang yang menuntut ilmu kepadanya.
Ketika Abu Ja’far Al Mansur membina kota Baghdad, Abu Hanifah didatangkan
kesana bersama beberapa pemuka ulama di masa itu. Ada sebuah riwayat bahwa Abu
Ja’far meminta supaya Abu Hanifah menjadi qadli. Berulang kali diminta demikian
akan tetapi Abu Hanifah tetap menampiknya, karenanya beliau disiksa. Dan Beliau
wafat pada pada tahun 150 H/ 767 M bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i.
Imam
Hanafi sangat bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, terutama empat jenis ilmu
fiqh yakni; fiqh Umar bin Khatab yang berlandaskan pada konsep maslahat,
istinbat, dan memperdalam pemahaman hakekat syariat, dan ilmu fiqh Ibnu Abbas
yng berisi Al-Qur’an berikut fiqhnya. Ditambah ilmu Fiqh Ali bin Abi Thalib dan
Abdullah bin Mas’ud. [2]
2. Guru-Guru
Imam Hanafi
Imam
Hanafi hidup dalam lingkunagan yang berbeda-beda, mengenal mengenal seluk beluk
dan wawasan mereka. Kemudian beliau berguru dengan seorang ulama terkemuka pada
zamannya, yaitu Hammad bin Sulaiman yang merupakan guru paling senior bagi Imam
Abu Hanifah dan banyak memberikan pengaruh dalam membangun mazhab fiqhnya.
Hammad bin Sulaiman belajar fiqh dari Ibrahin An-Nakha’I, sedangkan Imam
Ibrahim An-Nakha’i belajar dari Alqamah An-Nasa’I yang pernah belajar dengan
Abdullah bin Mas’ud, seorang sahabat terkemuka yang dikenal memiliki ilmu fiqh
dan ilmu logika yang mumpuni.
Imam
Hanafi juga belajar dari tabi’in
seperti ‘Atha’ bin Abi Rabah, dan Nafi’ pembantunya Ibnu Umar. Beliau juga
belajar fiqh selama dalam perjalanan haji dengan beberapa ulama, terutamna fuqoha’ Mekah termasuk ketika beliau
mukim disana selama 6 tahun setelah beliau hijrah ke Mekah pada tahun 130 H.[3]
3. Murid-Murid Imam Hanafi
Imam
Hanafi mempunyai banyak murid. Ada yang tinggal beberapa waktu untuk belajar
dan jika sudah selesai mereka pun pulang dengan membawa bekal dari gurunya
berupa ilmu dan fiqh. Ada pula diantara murid Imam Hanafi yang selalu menyretai
beliau sampai beliau wafat. Hal ini tidak aneh, karena beliau Imam Hanafi
adalah sosok yang dicintai dan mendapat tempat khusus diantara para muridnya.[4]
Diantara
murid Imam Hanafi adalah Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim Al Anshari Al Kufi (113
H-182 H). beliaulah yang telah berjasa besar dalam mengembangkan mazhab Abu
Hanifah. Beliau menjadi qadli di Kufah dalam masa pemerintahan Harun Al Rasyid
dan kepada beliau diserahkan urusan mengangkat qadli-qadli di seluruh daerah.
Pendapat-pendapat beliau dapat dipelajari dalam kitab fiqh Hanafi. Kitabnya
yang ditulis sendiri ialah Al- Kharaj.[5]
B. Sosial
Budaya Imam Hanafi
Kondisi sosial budaya pada masa Imam Abu Hanifah,
dimasanya, dalam menetapkan hukum islam, beliau dipengaruhi kondisi sosial di
kufah yang kurang tentang perbendaharaan ilmu hadist, disamping itu, kufah
sebagai kota yang berada ditengah kebudayaan persia yang masyarakatnya sudah
mencapai peradaban yang cukup tinggi.oleh sebab itu banyak muncul problema
kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukum. Serta banyaknya pemalsuan
hadist yang sehingga menyulitkan imam abu hanifah dalam penetapan hukum, karna
ini beliau dalam menetapkan hukum islam banyak menggunakan ra’yi.
C. Politik
Imam Hanafi
Pada
tahun 132 H Bani Umayyah diruntuhkan oleh Bani Abbasiyah. Khalifah Bani
Abbasiyah yang pertama meninggal hanya dalam tempo empat tahun setelah ia
berkuasa, lalu ia digantikan oleh saudaranya. Pada tahun 145 H para pengikut
Muhammad Nafs Zakiyyah melakukan perlawanan terhadap Manshur. Akhirnya
meninggal dalam pertempuran melawan Manshur, lalu sesudahnya Ibrahim
melanjutkan perjuangan. Disitulah Imam Hanafi mendukung Ibrahim karena
keadilannya. Kemudian Ibrahim dikalahkan oleh khalifah dan akhirnya Imam Hanafi
dibawa kehadapan khalifah oleh para pejabat istana seraya berkata, “orang ini
adalah ulama terbesar saat ini”. Manshur memberikan jabatan qodli pada beliau,
akan tetapi Imam Hanafi menolak. Hingga akhirnya Imam Hanafi diracuni karena
Manshur melihat adanya bahaya yang lain atas kekuasaannya saat Imam Hanafi
mengajar dipenjara dan banyak orang yang belajar dengannya.[6]
D. Keilmuan
Imam Hanafi
Sejak masa remaja, Imam Abu Hanifah
telah menunjukkan kecintaan yang mendalam pada ilmu pengetahuan, terutama yang
berkaitan dengan dengan hukum-hukum Islam. Beliau tergolong cepat dalam
menangkap ilmu yang diperolehnya, dari siapapun datangnya. Pembicaraannya
selalu mengandung nasihat dan hikmah.
Dikatakan pula bahwa Imam Abu
Hanifah teguh dalam memegang prinsip, berani menyatakan yang benar kepada
siapapun, dan memiliki kepribadian yang luhur. Kendati Imam Abu Hanifah anak
seorang saudagar kaya, dia amat menjauhi kemewahan hidup. Begitupun ketika dia
sendiri menjadi pedagang sukses, hartanya lebih banyak didermakan daripada
digunakan untuk kepentiungan pribadi dan keluarganya.
Sukses menekuni dunia usaha tak
membuat dirinya mementingkan ambisinya sebagai ’tajir’. Beliau tetap memberikan
perhatian besar pada dunia ilmu. Kesungguhan dan kecerdasannya dalam menuntut
ilmu agama, khusunya dalam bidang fikih. Mengantarkan Imam Abu Hanifah sebagai
ahli ilmu fikih. Imam syafi’i bahkan pernah berkomentar, ”Abu Hanifah adalah
bapak dan pemuka seluruh ulama’ fikih.”
Berkaitan dengan kepeduliannya dalam
masalah hukum Islam ini, Imam Abu Hanifah membentuk sebuah badan yang
didalamnya terdiri dari para intelektual (ulama’). Beliau sendiri mengetuai
lembaga tersebut. Badan yang dibentuk sang Imam ini berfungsi memusyawarahkan
dan menetapkan ajaran Islam dalam tulisan, dan mengalihkan syari’at Islam ke
dalam bentuk perundang-undangan.
Al-Khawarizmi menyebutkan bahwa,
”Jumlah hukum Islam yang disusunya lebih dari 83 ribu, sebanyak 38 ribu
diantaranya mengenai urusan agama, dan 45 ribu tentang urusan dunia. Selain
belajar ilmu fikih, Imam Abu Hanifah juga mendalami hadist, tafsir, serta sastra
Arab dan ilmu hikmah. Karena itulah, Imam Abu Hanifah dikenal luas
pandangannya.
Kemudian dalam memberikan pelajaran
kepada murid-muridnya, beliau berbeda dengan guru-guru yang lainya pada waktu
itu, Abu Hanifah selalu menekankan kepada murid-muridnya untuk brfikir kritis.
Ia tidak ingin muridnya menerima begitu saja ilmu yang disampaikannya,
melainkan mereka boleh mengemukakan tanggapan, pendapat, dan kritik.
Sering kali ia ditemukan berdiskusi,
bahkan berdebat dengan murid-muridnyatentang suatu masalah. Walaupun ia memberi
kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat kepada murid-muridnya, ia tetap
disegani dan dihormati, malah sangat dicintai murid-muridnya.[7]
E. Metode
Istinbaat Hukum Imam Hanafi
Fiqh
Imam Abu Hanifah memiliki cara yang modern dan manhaj tersendiri dalam kancah perfiqihan dan tidak ada sebelumnya.
Imam Asy-Syafi’i berkata, “Semua orang dalam hal fiqh bergantung kepada Imam
Abu Hanifah.” Imam Malik setelah berdiskusi dengan Imam Abu Hanifah berkata,
“Sungguh ia seorang yang ahli fiqh.”
Imam
Abu Hanifah memiliki manhaj tersendiri
dalam meng-istinbat hukum. Beliau
prenah berkata, “ Saya mengambil dari kitab Allah, jika tidak ada maka dari
sunnah Rasulullah dan jika tidak ada pada keduanya saya akan mengambil pendapat
sahabat. Saya memilih salah satu dan meninggalkan yang lain, dan saya tidak
akan keluar dari pendapat merekadan mengambil pendapat orang lain, dan jika
sudah sampai kepada pendapat Ibrahim, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin, dan
Sa’id bin Al-Musayyib maka saya akan berijtihad seperti mereka berijtihad.”
Dari
penjelasan diatas Imam Abu Hanifah dalam meng-istinbatkan hukum adalah sebagai berikut.
a. Al-Qur’an,
merupakan sumber utama syari’at dan kepadanya dikembalikan semua hukum dan
tidak ada satu sumber hukum satupun, kecuali dikembalikan kepadanya.
b. Sunnah,
sebagai penjelas kandungan Al-Qun’an, menjelaskan yang global dan alat dakwah
bagi Rasulullah saw dalam menyampaikan risalah Tuhannya. Maka barangsiapa yang
tidak mengamalkan sunnah, sama artinya dia tidak mengakui risalah Tuhanny.
c. Pendapat Sahabat,
karena mereka hidup satu zaman dengan Rasulullah saw, lebih memahami sebab
turunnya ayat, kesesuaian setiap ayat dan hadits, dan merekalah yang membawa
ilmu Rasulullah saw kepada umatnya.
d. Qiyas,
beliau menggunakan qiyas ketika tidak ada nash
Al-Qur’an atau Sunnah atau ucapan sahabat.
e. Al-Istihsan,
yaitu meninggalkan qiyas zhahir dan
mengambil hukum yang lain, karena qiyas
zhahir terkadang tidak dapat diterapkan dalam sebagian masalah. Oleh karena
itu, perlu mencari illat lain dengan qiyas khafi, atau karena qiyas zhahir bertentangan dengan nash sehingga harus ditinggalkan.
f. Ijma’,
yang menjadi hujjah berdasarkan
kesepakatan ulama walaupun mereka berbeda pendapat apakah ijma’ ini pernah ada
setelah Rasulullah.
g. Al-‘urf (adat
istiadat), yaitu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin dan tidak
ada nash, baik dari Al-Qur’an,
sunnah, atau perbuatan sahabat, dan berupa adat yang baik, serta tidak
bertentangan dengan nash, sehingga
dapat dijadikan hujjah.[8]
IV.
KESIMPULAN
Imam
Hanafi nama lengkapnya yaitu Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit bin Zutha At
Tamimy. Beliau dilahirkan pada tahun 80
H atau 699 M di kuffah dan wafat pada tahun 150 H di Baghdad.
Pada masa Imam Hanafi Kondisi sosial
budaya dimasanya dalam menetapkan hukum islam, beliau
dipengaruhi kondisi sosial di kufah yang kurang tentang perbendaharaan ilmu
hadist, disamping itu kufah sebagai kota yang berada ditengah kebudayaan persia
yang masyarakatnya sudah mencapai peradaban yang cukup tinggi. Oleh sebab itu
banyak muncul problema kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukum.
Keilmuan Imam Hanafi sejak masa
remaja, Imam Abu Hanifah telah menunjukkan kecintaan yang mendalam pada ilmu
pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan dengan hukum-hukum Islam. Beliau
tergolong cepat dalam menangkap ilmu yang diperolehnya, dari siapapun
datangnya. Pembicaraannya selalu mengandung nasihat dan hikmah.
Sedangkan
metode istinbat Imam Hanafi gunakan
yaitu dengan Al-Qur’an, Sunnah, pendapat
sahabat, Qiyas, Al-Istihsan, Ijma’, dan Al-‘Urf.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat penulis
buat. Apabila ada kekurangan dan kekeliruan dalam penyampaian materi ini,
penulis mohon maaf. Sebagai manusia biasa yang menjadi tempatnya salah dan
lupa, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini.
Untuk kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini dan makalah selanjutnya. Dan harapan penulis, semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amin.
[1]
Rasyad Hasan Khalili, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam,
(Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 172.
[2]
Hasbi Ash Shidieqi, Pengantar Hukum Islam 1, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), hlm. 99-100.
[3]
Rasyad Hasan Khalili, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam,
(Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 173-174.
[4]
Rasyad Hasan Khalili, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam,
(Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 175
[5]
Teuku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 117.
[6] Abdur Rohman, Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam, (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 1993), hlm. 141-142
[7]
http://makalah88.blogspot.com/2012/01/imam-abu-hanifah.html
[8]
Rasyad Hasan Khalili, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam,
(Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 176-177.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar