HUKUM ASURANSI
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah : Hukum
Bisnis
Dosen pengampu : Afif
Noor S.Ag S.H M.Hum
Oleh:
Saeful Mujab (
112311050 )
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG TAHUN 2014
I.
PENDAHULUAN
Semakin kompleknya kebutuhan manusia yang harus
tercukupi dan dalam pemenuhannya kebutuhan yang belum pasti di masa yang akan
datang manusia memerlukan asuransi, asuransi merupakan buah pikiran dan akal
manusia untuk mencapai suatu keadaan yang dapat memenuhi kebutuanya, terutama
untuk kebutuhan – kebutuhan yang halkiki sifatnya antara lain rasa aman dan
terlindungi. Karna di pandang begitu pentingnya asuransi bagi sebagian
masyarakat maka kebutuhan jasa perasuransian makin di sarankan, baik
perseorangan maupun dunia usaha di Indonesia.[1]
Asuransi sebagai suatu perjanjian
harus mengedepankan Prinsip itikad baik sebagaimana yang diatur dalam Pasal
1338 Ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik oleh para pihak yang mengadakan perjanjian.
Penanggung sebagi pihak yang menerima pengalihan risiko dari tertanggung dengan
mendapat premi memiliki kewajiban untuk memberikan suatu penggantian atau
manfaat kepada tertanggung apabila yang diperjanjikan terjadi, sebagaimana yang
di atur dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka penulis
merasa terdorong untuk mengkaji yang terhadap dalam asuransi.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Pengertian
asuransi?
B.
Pengaturan
asuransi?
C.
Perjanjian
didalam asurans?
D.
Jenis jenis
asuransi?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Asuransi
Istilah asuransi dalam perkembangannya di Indonesia
berasaldri kata belanda assurantie yang kemudian menjadi asuransi dalam bahasa
Indonesia. Namun istilah assurantie itu sendiri sebenarnya bukan istilah asli
bahasa belanda akan tetapi berasal dari bahasa latin, yaitu assuraeur
yangberarti penanggung keduanya berasal dari perbendaharaan bahasa belanda.
Sedangkan dalam bahasa belanda istilah pertanggungan dapat di terjemahkan
menjadi insurance dan assurance. Kedua istilah itu sebenarnya memiliki istilah
yang berbeda, insurance mengandung arti menanggung segala sesuatu yang pasti
terjadi.[2]
Istilah assurance lebih lanjut dikaitkan dengan pertanggungan yang berkaitan
dengan masalah jiwa seseorang. Banyak pendapat mengenai asuransi, antara lain:
1. Asuransi dapat diartikan sebagai suatu persetujuan dimana penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung dengan pendapat premi, untuk mengganti
kerugian, atau tidak di perbolehkannya keuntungan yang diharapkan, yang dapat diderita
karna peristiwa yang tidak diketahui lebih dulu.[3]
2. Secara umum pengertian asuransi adalah perjanjian antara penanggung
(perusaha’an asuransi) dengan tertanggung (peserta
asuransi) yang dengan menerima premi dari tertanggung, penanggung berjanji akan
membayar sejumblah pertanggungan manakala tertanggung :
a. Mengalami kerugian, kerusakan atau kehilanggan atas barang/kepentingan
yang karena peristiwa tidak pasti dan tanpa kesengajaan
b. Didasarkan atas hidup dan matinya seseorang[4]
Asuransi adalah usaha
untuk mengurangi ketidakpastian pada pihak-pihak tertentu yang dinamakan
tertanggung melalui pengalihan risiko-risiko tertentu kepada pihak lain yang
dinamakan penganggung yang berjanji untuk memberikan ganti rugi kepada
tertanggung, meskipun sebagian atas kerugian finansial yang menimpanya.[5]
Dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang
pasal 246 memberikan pengertian asuransi sebagai berikut : Asuransi atau
pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung
mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung, dengan menerima premi, untuk
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena
suatu peristiwa yang tak tertentu.[6]
B.
Pengaturan
Asuransi
Peraturan asuransi di atur dalam perundangan - undangan yang digunakan sebagai dasar acuan pembinaan dan
pengawasan atas usaha perasuransian di Indonesia saat ini :
1.
UU no.2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian
2.
PP no.73 tahun 1002 tentang usaha perasuransian
3.
Keputusan menteri keuangan, antara lain:
a.
Nomor 223/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang
Perizinan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi
b.
No.224/KNE.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi
c.
No.225/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asurasni dan Reasuransi
d.
No.226/CMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang
Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha
Asuransi.[7]
C. Perjanjian
Asuransi
suatu
perjanjian akan melahirkan hak dan kewajiban. Kewajiban akan melahirkan suatu
tanggung jawab yang harus dipenuhi sesuai dengan kewajiban yang ada sedangkan
tanggung jawab lahir karena adanya suatu kerugian yang dialami masing-masing
pihak. Pada perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung akan
melahirkan tanggung jawab para pihak. Tanggung jawab sangat penting dalam hal
pemenuhan hak dari para pihak. Secara umum prinsip tanggung jawab dalam hukum
dapat dibedakan sebagai berikut.
Secara
umum prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut :
1)
Prinsip tanggung
jawab berdasarkan unsur kesalahan.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur
kesalahan (Fault liability atau liability on fault) adalah prinsip yang
cukup aman berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Prinsip ini menyatakan
seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada
unsure kesalahan yang dilakukannnya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang lazim dikenal
sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat
unsur pokok, yaitu :
a.
Adanya perbuatan
b.
Adanya unsur
kesalahan
c.
Adanya kerugian
yang diderita
d.
Adanya hubungan
kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Yang dimaksud kesalahan
adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum”, tidak hanya
bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaandalam
masyarakat.
2)
Prinsip praduga
untuk selalu bertanggung jawab
Prinsip
ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (Presumption Of Liability Principle),
sampai saat ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Jadi beban pembuktian
ada pada si tergugat. Asas ini lazim pula disebut pembuktian pembuktian
terbalik (Omkering van Bewijslast).
Undang-Undang perlindungan Konsumen menganut teori berdasarkan pasal 19 Ayat
(5). Ketentuan ini menyatakan bahwa pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab
kerusakan jika dapat dibuktikan bahwa kesalahan itu merupakan kesalahan
konsumen. Dasar pemikiran pembuktian
terbalik adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat
membuktikan sebaliknya. Hal itu tentu saja bertentangan dengan asas hukum
praduga tidak bersalah yang kenal dalam hukum, jika diterapkan dalam kasus
konsumen akan tampak tampak, asas demikian cukup relevan.
3)
Prinsip praduga
untuk tidak selalu bertanggung jawab
Prinsip ini adalah kebalikan dari
prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (Presumption of nonliability Principle)
hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan
pembatasan demikian biasanya secara common
sense dapat dibenarkan.
4)
Prinsi tanggung
jawab mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan
dengan prinsip tanggung jawab absolute (Absolut
Liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua
terminology di atas. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan
kesalahan tidak sebagai factor yang menentukan. Namun ada
pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung
jawab, misalnya dalam keadaan force
majeur. Sebaliknya absolute Liability
adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiaannya.
5)
Prisip tanggung
jawab dengan pembatasan
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (Limitatin Of liability) sangat menguntungkan para pelaku usaha
karena mencantumkan klausul eksonerasi dalam perjanjian standard yang
dibuatnya. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan
secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak
menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal
tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang jelas.[8]
D.
Prinsip Asuransi
Sebagaimana
pengertian asuransi yang ditunjukkan dalam pasal 246 KUHP dan pasal 1 UU No. 2
Th. 1992 tentang perasuransian, maka usaha asuransi ditegakkan di atas
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsiple of Insurable Interest
Bahwa, seseorang boleh mengansurasikan barang-barang
apabila yang bersangkutan mempunyai kepentingan atas barang yang
dipertanggungkan (Pasal 250 KUHP)
1.
Prinsiple of Utmost Good Faith
Penutupan
asuransi baru sah, apabila penutupannya didasari itikad baik (pasal 251 KUHP)
2.
Prinsiple of Indemnity
Dasar
penggantian kerugian dari penanggung kepada tertanggung setinggi-tingginya
adalah sebesar kerugian yang sesungguhnya diderita tertanggung dalam arti tidak
dibenarkan mencari keuntungan dari ganti rugi asuransi
3.
Prinsiple of Subrogatian
Apabila tertanggung sudah mendapatkan
penggantian atas dasar indemnity, maka si tertanggung tidak berhak lagi memperoleh
penggantian dari pihak lain, walaupun jelas ada pihak lain yang
bertanggungjawab pula atas kerugian yang dideritanya. Penggantian dari pihak
lain harus diserahkan pada penanggung yang telah memberikan ganti rugi dimaksud
(pasal 284 KUHP).[9]
4.
Prinsiple of Proximate Cause
Adalah suatu sebab
aktif, efisiensi yang mengakibatkan terjadinya suatu peristiwa secara berantai
atau berurutan dan intervensi kekuatan lain, diawali dan bekerja dengan aktif
dari suatu sumber baru dan independen
5.
Prinsiple of Contribution
Suatu
prinsip di mana penanggung berhak mengajak penanggung-penanggung lain yang
memiliki kepentingan yang sama untuk ikut bersama membayar ganti rugi kepada
seseorang tertanggung, meskipun jumlah tanggungan masing-masing penanggung
belum tentu sama besarnya[10]
E.
Jenis-Jenis
Asuransi
Pembagian
jenis – jenis asuransi menurut pengolonganya :
1.
Penggolongan secara yuridis
Jenis asuransi menurut Pasal 247 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang menyebutkan tentang 5 macam asuransi, ialah:
1. Asuransi terhadap kebakaran.
2. Asuransi terhadap bahaya hasil-hasil
pertanian.
3. Asuransi terhadap kematian orang.
4. Asuransi terhadap bahaya di laut dan
perbudakan.
5. Asuransi terhadap bahaya dalam pengangkutan
di darat dan di sungai.
Buku I KUHD mengatur tentang jenis asuransi
yang pertama, kedua dan ketiga. Sedangkan jenis asuransi yang keempat dan
kelima di atur dalam Buku II KUHD. Asuransi secara yuridis dapat digolongkan
menjadi dua yaitu asuransi kerugian dan asuransi jumlah.
a. Asuransi Kerugian
Asuransi kerugian
adalah suatu perjanjian asuransi yang berisikan ketentuan bahwa penanggung
mengikatkan dirinya untuk melakukan prestasi berupa ganti kerugian kepada
tertanggung seimbang dengan kerugian yang diderita oleh pihak terakhir. Yang
termasuk dalam golongan asuransi kerugian adalah semua jenis asuransi yang
kepentingannya dapat dinilai dengan uang, misalnya asuransi pencurian, asuransi
pembongkaran, asuransi perampokan, asuransi kebakaran, asuransi terhadap bahaya
yang mengancam hasil pertanian.[11]
b. Asuransi Jumlah
Asuransi jumlah
adalah suatu perjanjian asuransi yang berisi ketentuan bahwa penanggung terikat
untuk melakukan prestasi berupa pembayaran sejumlah uang yang besarnya sudah
ditentukan sebelumnya. Ciri dari asuransi jumlah adalah kepentingan yang tidak
dapat dinilai dengan uang, sejumlah uang yang akan dibayarkan oleh penanggung
telah ditentukan sebelumnya. Contoh asuransi jumlah adalah asuransi jiwa,
asuransi sakit (apabila prestasi penanggung sudah ditentukan sebelumnya),
asuransi kecelakaan ( apabila prestasi penanggung berupa pembayaran sejumlah
uang, besarnya telah ditentukan sebelumnya).[12]
2. Penggolongan berdasarkan ada tidaknya kehendak
bebas para pihak
A. Asuransi sukarela (Voluntary Insurance)
Asuransi
sukarela adalah suatu perjanjian asuransi yang terjadinya didasarkan kehendak
bebas dari pihak-pihak yang mengadakannya. Hal itu berarti bahwa timbulnya
perjanjian tidak ada paksaan dari luar. Oleh sebab itu asas kebebasan
berkontrak ( Pasal 1338, ayat (1) KUH Perdata ) berperan dalam tumbuhnya jenis-jenis
asuransi sukarela. Misalnya asuransi kebakaran, asuransi jiwa, asuransi atas
bahaya laut,dan lain-lain. [13]
B. Asuransi wajib (Compulsory Insurance)
Asuransi
wajib terbentuk karena diharuskan oleh ketentuan perundang-undangan. Dalam
beberapa jenis golongan asuransi wajib, terdapat sanksi apabila asuransi
tersebut tidak dilakukan. Sebagai contoh dari golongan asuransi wajib adalah
Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Kendaraan Umum, Dana Kecelakaan
Lalu Lintas Jalan, Dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
3. Penggolongan
berdasarkan tujuan
Memperhatikan tujuan diadakan perjanjian
asuransi, dapat dibagi atas :
1. Asuransi Komersial ( Commercial Insurance )
Pada umumnya asuransi komersial diadakan oleh
perusahaan asuransi sebagai sebuah bisnis, sehingga tujuan utama adalah
memperoleh keuntungan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan
perjanjian ini, misalnya berdasarkan besar premi, besarnya ganti kerugian,
didasarkan perhitungan ekonomis. Semua jenis asuransi komersial diatur dalam
KUH Dagang. Pada dasarnya asuransi komersial merupakan asuransi sukarela.
2. Asuransi Sosial
Asuransi sosial diselenggarakan tidak dengan tujuan memperoleh
keuntungan, tetapi bermaksud memberikan jaminan sosial kepada masyarakat atau
sekelompok masyarakat.[14]
4. Subyek Dan Obyek Asuransi
Subyek dalam
perjanjian asuransi adalah pihak-pihak yang bertindak aktif yang mengamalkan
perjanjian itu, yaitu pihak tertanggung, pihak penanggung dan pihak-pihak yang
berperan sebagai penunjang perusahaan asuransi.
a. Penanggung
Pengertian
penanggung secara umum, adalah pihak yang menerima pengalihan risiko dimana
dengan mendapat premi, berjanji akan mengganti kerugian atau membayar sejumlah
uang yang telah disetujui, jika terjadi peristiwa yang tidak dapat diduga
sebelumnya, yang mengakibatkan kerugian bagi tertanggung. Dari pengertian
penanggung tersebut di atas, terdapat hak dan kewajiban yang mengikat
penanggung.
Menurut Prof. Dr. H. Man Suparman
Sastrawidjaja, S.H., S.U. hak penanggung antara lain [15]:
a. menuntut pembayaran premi kepada tertanggung
sesuai dengan perjanjian.
b. meminta keterangan yang benar dan lengkap
kepada tertanggung yang berkaitan dengan obyek yang diasuransikan kepadanya.
c. memiliki premi dan bahkan menuntutnya dalam
hal peristiwa yang diperjanjikan terjadi tetapi disebabkan oleh kesalahan
tertanggung sendiri. (Pasal 276 KUHD).
d. memiliki premi yang sudah diterima dalam hal
asuransi batal atau gugur yang disebabkan oleh perbuatan curang dari
tertanggung. (Pasal 282 KUHD).
e. melakukan asuransi kembali kepada penanggung yang
lain dengan maksud untuk membagi risiko yang dihadapinya. (Pasal 271 KUHD).
Sedangkan kewajiban
dari penanggung adalah[16]:
a. memberikan ganti kerugian atau memberikan
sejumlah uang kepada tertanggung apabila peristiwa yang diperjanjian terjadi,
kecuali jika terdapat hal yang dapat menjadi alasan untuk membebaskan dari
kewajiban tersebut.
b. Menandatangani dan menyerahkan polis kepada
tertanggung (Pasal 259, 260 KUHD).
c. Mengembalikan premi kepada tertanggung jika
asuransi batal atau gugur, dengan syarat tertanggung belum menanggung risiko
sebagian atau seluruhnya (premi restorno, Pasal 281 KUHD).
d. Dalam asuransi kebakaran, penanggung harus
mengganti biaya yang diperlukan untuk membangun kembali apabila dalam asuransi
tersebut diperjanjikan demikian (Pasal 289 KUHD).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian menyebutkan bahwa penyelenggara usaha perasuransian atau
pihak yang bertindak sebagai pihak penanggung hanya boleh dilakukan oleh badan
hukum yang berbentuk Perusahaan Perseroan (persero), Koperasi, Perseroan
Terbatas dan Usaha Bersama (mutual).
Badan hukum penyelenggara perasuransian dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, disebut
perusahaan perasuransian. Perusahaan Perasuransian tersebut adalah[17] :
a. Perusahaan asuransi kerugian, yaitu
perusahaan atau usaha asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko
atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga
yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
b. Perusahaan asuransi jiwa, yaitu perusahaan
atau usaha asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang
dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
c. Perusahaan reasuransi, yaitu perusahaan atau
usaha asuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko
yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian dan atau perusahaan asuransi
jiwa.
b.
Tertanggung
Pengertian tertanggung
secara umum adalah pihak yang mengalihkan risiko kepada pihak lain dengan
membayarkan sejumlah premi.
Berdasar Pasal 250 KUHD
yang dapat bertindak sebagai tertanggung adalah sebagai berikut :
“Bilamana seseorang yang
mempertanggungkan untuk diri sendiri, atau seseorang, untuk tanggungan siapa
diadakan pertanggungan oleh seorang yang lain, pada waktu pertanggungan tidak
mempunyai kepentingan atas benda tidak berkewajiban mengganti kerugian.”[18]
Berdasarkan Pasal 250 KUHD, yang berhak bertindak
sebagai tertanggung adalah pihak yang mempunyai interest (kepentingan)
terhadap obyek yang dipertanggungkan.
Apabila kepentingan tersebut tidak ada, maka pihak
penanggung tidak berkewajiban memberikan ganti kerugian yang diderita pihak
tertanggung.
Pasal 264 KUHD menentukan selain mengadakan
perjanjian asuransi untuk kepentingan diri sendiri, juga diperbolehkan mengadakan
perjanjian asuransi untuk kepentingan pihak ketiga, baik berdasarkan pemberian
kuasa dari pihak ketiga itu sendiri ataupun di luar pengetahuan pihak ketiga
yang berkepentingan.
Tertanggung dalam pelaksanaan perjanjian asuransi
mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan, sehingga apabila terjadi
peristiwa yang tidak diharapkan yang terjamin kondisi polis maka penanggung
dapat melaksanakan kewajibannya.
Menurut Prof. Dr. H. Man Suparman
Sastrawidjaja, S.H., S.U. hak tertanggung antara lain[19]:
a.
menuntut agar
polis ditandatangani oleh penanggung (Pasal 259 KUHD).
b.
menuntut agar
polis segera diserahkan oleh penanggung (Pasal 260 KUHD).
c.
meminta ganti
kerugian bila terjadi hal peristiwa yang tidak diharapkan yang terjamin dalam
polis.
kewajiban tertanggung adalah[20]
:
a.
membayar premi
kepada penanggung (Pasal 246 KUHD).
b.
memberikan
keterangan yang benar kepada penanggung mengenai obyek yang diasuransikan
(Pasal 251 KUHD).
c.
mencegah atau
mengusahakan agar peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian terhadap obyek yang
diasuransikan tidak terjadi atau dapat dihindari; apabila dapat dibuktikan oleh
penanggung, bahwa tertanggung tidak berusaha untuk mencegah terjadinya
peristiwa tersebut dapat menjadi salah satu alasan bagi penanggung untuk
menolak memberikan ganti kerugian bahkan sebaliknya menuntut ganti kerugian
kepada tertanggung (Pasal 283 KUHD)
memberitahukan kepada
penanggung bahwa telah terjadi peristiwa yang menimpa obyek yang diasuransikan.[21]
IV.
KESIMPULAN
Istilah
asuransi dalam perkembangannya di Indonesia berasaldri kata belanda assurantie
yang kemudian menjadi asuransi dalam bahasa Indonesia. Namun istilah assurantie
itu sendiri sebenarnya bukan istilah asli bahasa belanda akan tetapi berasal
dari bahasa latin, yaitu assuraeur yangberarti penanggung keduanya berasal dari
perbendaharaan bahasa belanda. Sedangkan dalam bahasa belanda istilah
pertanggungan dapat di terjemahkan menjadi insurance dan assurance. Kedua
istilah itu sebenarnya memiliki istilah yang berbeda, insurance mengandung arti
menanggung segala sesuatu yang pasti terjadi.
Peraturan asuransi di atur dalam perundangan - undangan yang digunakan sebagai dasar acuan pembinaan dan
pengawasan atas usaha perasuransian di Indonesia saat ini :
1.
UU no.2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian
2.
PP no.73 tahun 1002 tentang usaha perasuransian
3.
Keputusan menteri keuangan, antara lain:
4.
Nomor 223/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang
Perizinan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi
3.
No.224/KNE.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi
4.
No.225/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asurasni dan Reasuransi
5.
No.226/CMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang
Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha
Asuransi.
Secara
umum prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut :
1.
Prinsip tanggung
jawab berdasarkan unsur kesalahan.
2.
Prinsip praduga
untuk selalu bertanggung jawab
3.
Prinsip praduga
untuk tidak selalu bertanggung jawab
4.
Prinsi tanggung
jawab mutlak
5.
Prisip tanggung
jawab dengan pembatasan
Jenis-jenis
Asuransi
1. Penggolongan secara yuridis
Jenis asuransi menurut Pasal 247 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang menyebutkan tentang 5 macam asuransi, ialah:
1. Asuransi terhadap kebakaran.
2. Asuransi terhadap bahaya hasil-hasil
pertanian.
3. Asuransi terhadap kematian orang.
4. Asuransi terhadap bahaya di laut dan
perbudakan.
5. Asuransi terhadap bahaya dalam pengangkutan
di darat dan di sungai.
Buku I KUHD mengatur tentang jenis asuransi
yang pertama, kedua dan ketiga. Sedangkan jenis asuransi yang keempat dan
kelima di atur dalam Buku II KUHD. Asuransi secara yuridis dapat digolongkan
menjadi dua yaitu asuransi kerugian dan asuransi jumlah.
2. Penggolongan
berdasarkan ada tidaknya kehendak bebas para pihak
1. Asuransi sukarela (Voluntary Insurance)
2. Asuransi wajib (Compulsory Insurance)
3. Penggolongan
berdasarkan tujuan
Memperhatikan tujuan diadakan perjanjian
asuransi, dapat dibagi atas :
1. Asuransi Komersial ( Commercial Insurance )
2. Asuransi Sosial
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Junaedy Ganie, 2011, Hukum asuransi
Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika
Abdulkadir Muhammad, 1998. Hukum Pengangkutan Niaga. Citra
Aditya Bakti, Bandung
Ahmad Azhar Basyir. 1996. Takaful sebagai Alternatif Asuransi
Islam,(Jurnal ‘Ulumul Qur’an.
Antonio SJafi’I. 2001 Bank
Sjariah dan teori ke praktek, Tazkia Cendekian-Gema Insani Pers, Jakarta
C.S.T. Kansil,
1996. Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika
Celini
tri siwi K. 2009. Hukum Perlindungan Konsumen.
Jakarta : Sinar grafika.
Dr. Sri Rejeki Hartono,SH. 1992. Hukum
asuransi dan perusahaan asuransi. Jakarta : Sinar Grafika
Kasmir.
2001. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Man Suparaman Sastrawidjaja, 2003, Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Bandung: PT. alumni
Pasal 250 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang.
Sakti,Ali.
2007. Analisis Teori Ekonomi Islam, Aqsa Publishing/Paradigma
Syamsul
Anwar. 2002. Asuransi Islam, Yogjakarta: Fakultas Syari’ah.
http://arjunokesattan.blogspot.com/2011/12makalah-asuransi-syariah.html
[1]
Dr. Sri Rejeki Hartono,SH. 1992. Hukum asuransi dan perusahaan asuransi.
Jakarta : Sinar Grafika Hal. 30
[2]
http://arjunokesattan.blogspot.com/2011/12makalah-asuransi-syariah.html
[3]
Antonio SJafi’I, Bank Sjariah dan teori ke praktek, Tazkia Cendekian-Gema
Insani Pers, Jakarta, 2001,cetakan 1
[4]
Sakti,Ali,Analisis Teori Ekonomi Islam, Aqsa Publishing/Paradigma, tahun 2007
cetakan 1, hal
[5] Syamsul Anwar, Asuransi Islam, (Yogjakarta: Fakultas
Syari’ah, 2002)
[6] Ahmad Azhar
Basyir, Takaful sebagai Alternatif Asuransi Islam,(Jurnal ‘Ulumul Qur’an No.2
Vol VII, 1996) hlm. 15
[7]
http://mamanroestaman.blogspot.com/2012/11/makalah-asuransi-kerugian.html
[8] Celini tri siwi K. 2009. Hukum
Perlindungan Konsumen. Jakarta :
Sinar grafika. Hlm.92-93
[9]
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001), hlm. 260
[10]
C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, cet. IV
(Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 429
[11] A. Junaedy Ganie, 2011, Hukum asuransi Indonesia, Sinar grafika,
Jakarta, Hlm. 84
[12] Ibid,
Hlm. 85
[13] Ibid, Hlm. 86
[14] Ibid, Hlm. 87
[15] Ibid. hlm. 22
[16] Man Suparaman
Sastrawidjaja, 2003, Aspek-Aspek Hukum
Asuransi dan Surat Berharga, PT. alumni, Bandung, Hlm. 9
[17] Abdulkadir Muhammad,
1998. Hukum Pengangkutan Niaga. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.7
[18] Pasal
250 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
[19] Man Suparman
Sastrawidjaja, op.cit. hal.20
[20] Ibid, hlm.21
[21]
A. Junaedy Ganie, 2011, Hukum asuransi Indonesia, Sinar grafika,
Jakarta, Hlm. 84.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar