Jumat, 17 Januari 2014

Pluralisme Agama di Indonesia



Menanamkan Sikap Pluralisme (Agama)
 Demi Kesatuan Negara
Oleh: Susi Afiarti (123111150)

Sebagai seorang mu’min, suatu sikap yang wajar bila kita meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah SWT, dan meyakini pula bahwa nash-nash agama yang terbingkai dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah benar. Namun, merupakan kenyatan yang tidak bisa dibantah lagi bahwa Indonesia adalah suatu Negara yang warga negaranya terdiri dari berbagai suku, agama, ras, bagsa, profesi, budaya, dan golongan. Begitu juga dalam agama yang selalu berbentuk plural. Secara historis-sosiologis, pluralisme agama merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Semua yang terdapat di dunia dengan sengaja diciptakan dengan penuh keragaman, tak terkecuali agama. Pluralitas bukanlah hal yang merugikan bagi keberadaan kehidupan. Pluralitas adalah kehendak Sang Pencipta (sunnatullah) agar kehidupan ini dapat berjalan dalam keseimbangan.  Dan memang yang diperlukan manusia bukanlah menjadi satu atau sama dalam hal agama, tetapi bagaimana cara dan sikap yang cerdas dan dewasa terhadap pluralitas agama.
Banyak orang pesimis dan putus pengharapan perihal masa depan pluralisme agama di Indonesia. Pesimisme didasarkan pada beberapa indikator utama. Pertama, karena telah berpulangnya para tokoh agama yang gigih tanpa lelah memperjuangkan pluralisme, kepergian Abdurrahman Wahid sang pejuang pluraisme. Kedua, terjadi kekerasan berbasis agama dan teologi. Kedua pokok persoalan tersebut sebenarnya lebih merupakan tantangan bagi pejuang pluralisme agama untuk mensolidkan dan mensinergikan gerakan. Ada banyak hal yang menyebabkan kita boleh optimis dan berpengharapan tentang cerahnya pluralisme agama di Indonesia di masa-masa yang akan datang.
Memang benar bahwa Abdurrahman Wahid sudah berpulang, tapi pikiran-pikiran pluralisnya masih berkembang hingga sekarang ini. Dalam menghadapi kenyataan adanya pluralitas keagamaan ini, suatu hal yang tidak mungkin untuk mengambil sikap anti pluralisme. Sikap keagamaan yang terbuka, toleran dan saling memahami menjadi relevan untuk dikembangkan termasuk di Indonesia karena pluralitas agama yang ada di Indonesia.
Selanjutnya, dalam proses transisi menuju demokrasi, sebagian negara kerap tidak stabil dan mudah goyah. Dalam konteks itu, negara biasanya tak bisa berperan secara efektif untuk melindungi setiap warganya dari tindak ketidakadilan oleh warga yang lain. Itulah yang kini terjadi di Indonesia. Sejumlah kekerasan berbasis agama tak bisa segera dihentikan oleh pemerintah (aparat kepolisian). Pemerintah gamang untuk bertindak dan menghukum pelaku kekerasan berbasis agama karena khawatir dianggap anti-agama, persisnya anti-Islam. Citra sebagai pendukung agama (Islam) dan sekte mayoritas inilah yang tampaknya hendak ditampilkan pemerintahan kali ini. Namun, jika pemerintahan pun tidak menanamkan sikap pluralisme dalam mengatasi pluralitas agama ini akan sulit untuk menegakkan pluralisme di Indonesia. Seharusnya pemerintahan menanamkan sikap pluralisme yang baik agar masyarakat dan Warga Negara Indonesia dapat meneladani dan ikut serta dalam pembangunan dan kesatuan Negara Indonesia dengan bersikap pluralisme.
Pluralime perlu diterapkan, karena pluralisme adalah sikap yang baik. Lima ciri pluralisme yaitu, lima ciri utama pluralisme. Pertama, selalu berkaitan dengan memelihara dan menjunjung tinggi hak dan kewajiban masing-masing kelompok. Kelompok pedagang, politisi, pegawai negeri, buruh dan sebagainya akan mempertahankan posisi agar mereka dapat terus memainkan peran yang selama ini mereka merasa menjadi tanggung jawabnya.
Kedua, menghargai perbedaan dalam kebersamaan. Masyarakat yang benar-benar memiliki karakteristik plural meyakini bahwa masing-masing pihak berada dalam posisi yang sama. Mereka meyakini bahwa tidak ada kelompok masyarakat yang unggul dari kelompok masyarakat lain dalam berbagai hal. Ketiga, pluralisme menunjukkan kepada wahana untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berkompetisi secara jujur, terbuka, dan adil. Keempat, pluralisme harus didudukkan pada posisi yang proporsional. Ini berarti bahwa pluralisme dicirikan oleh pandangan-pandangan yang berbeda yang nampak menjadi daya dorong untuk mendinamisasi kehidupan bermasyarakat, dan bukan mekanisme untuk menghancurkan satu kelompok terhadap kelompok lain. Dengan demikian pluralisme ada pada posisi yang netral, tidak memihak, dan objektif.Kelima, menunjukkan adanya perasaan kepemilikan bersama, untuk kepentingan bersama dan diupayakan bersama. Karakteristik semacam ini pada hakikatnya merupakan puncak dan kesadaran bahwa pluralisme sebenarnya merupakan manifestasi jati diri kita.
Dengan alasan-alasan itu, kita masih berhak untuk optimis bahwa langit-langit pluralisme agama di Indonesia akan makin cerah. Yang jelas harus ditanamkan dalam diri seseorang adalah sikap pluralisme. Jika setiap Warga Negara Indonesia memiliki jiwa sosial yang tinggi dan mampu menanamkan sikap pluralisme dengan baik, maka kesatuan Negara Indonesia akan lebih mudah tercapaidan akan terciptanya rasa aman dalam setiap melakukan ha apapun. Karena sudah tidak ada lagi sindikat teroris yang mengatasnamakan agama dan dengan alasan jihad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar