KERAJAAN-KERAJAAN
ISLAM DI INDONESIA SEBELUM PENJAJAHAN BELANDA
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah: Sejarah
Islam Indonesia
Dosen Pengampu: Dr.
Muslih, M.A.
Oleh:
Sri Multiani (123111148)
Susi Arfiati (123111150)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH
DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
TAHUN 2014
I.
PENDAHULUAN
Sebagaimana telah disebutkan pada permulaannya tumbuhnya agama
Islam di abad ke-7 (674-675 M) ada utusan raja Arab datang ke tanah Jawa, pada
zaman pemerintahan Raja Hindu yaitu Ratu Sima. Utusan ini menyelidiki keadaan
penduduk, suasana pemerintahan, agama, dan kuat tidaknya kerajaan itu. Mereka
gagal berekspedisi agama karena kerajaan ini cukup kuat. Mereka tidak langsung
menyerah, mereka melanjutkan ke Sumatera dengan tetap jalan berdagang, setelah
mereka cukup berhasil mereka mendirikan perkampungan kecil di tepi-tepi pantai,
sehingga sampai mendirikan kerajaan untuk benteng untuk mereka berekspedisi.
Dalam penyebaran agama Islam khususnya di bumi Indonesia banyak
meninggalkan barang bernilai sejarah sehingga banyak para ahli sejarah ingin
menyelidikinya, dari ungkapan di atas kami ingin mencoba membahas apa saja
kerajaan-kerajaan yang muncul di Indonesia serta tumbuh dan berkembangnya,
hubungan politik dan keagamaan anta kerajaan-kerajaan Islam, dan Tiga pola
“Pembentukan Budaya” yang Terlihat Dalam Proses Pembentukan Negara Aceh,
Sulawesi Selatan, dan Jawa.[1]
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa
saja Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Sumatera?
B.
Bagaimana
Tumbuh dan Berkembangnya Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Kalimantan, Maluku,
dan Sulawesi?
C.
Bagaimana
Hubungan Politik dan Keagamaan Antara Kerajaan-kerajaan Islam?
D.
Tiga
pola “Pembentukan Budaya” yang Terlihat Dalam Proses Pembentukan Negara Aceh,
Sulawesi Selatan, dan Jawa?
III.
PEMBAHASAN
A.
Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Sumatera
1.
Perlak
Kerajaan ini adalah cikal dari kerajaan Islam pertama di Indonesia.
Berdiri pada abad ke-3 H. atau pertengahan abad ke-9 M (225 H). raja pertamanya
adalah Sayid Abdul Aziz yang bergelar Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz
Syah. Agama Islam datang ke daerah ini dibawa oleh orang-orang Gujarat dari
Teluk Kumbay. Ibu kota atau pusat pemerintahannya berada di Bandar Khalifah.
Bukti adanya kerajaan ini dalam sejarah disebutkan dengan ditemukannya mata
uang dirham yang didalamnya tertulis “Al A’la” dan disampingnya tertulis
“Sultan”.[2]
2.
Samudera
Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai
yang merupakan kerajaan kembar. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam
diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13M.[3] Berdasarkan
pada Hikayat Raja-raja Pasai, dan juga pada Sejarah Melayu raja
pertama Samudra Pasai adalah Malik as Shaleh. Makam Malik as Shaleh yang
terletak di Meunasah Beringin kabupaten Aceh Utara memberikan data lebih jelas
adanya kerajaan Samudra Pasai. Makam tersebut menyebutkan Malik as Shaleh wafat
pada bulan Ramadhan 696 H (1297 M).[4]
Raja terakhirnya adalah Zainal Abidin (1513-1524 M). Ini berdasarkan mata uang
yang ditemukan oleh para peneliti sejarah, dalam mata uang tersebut ada nama
raja dan tahun mereka memimpin kerajaan tersebut. Ibnu Batutah menyatakan bahwa
Islam sudah se-abad lamanya disiarkan di Sumatera, berdasarkan Kerajaan Pasai
yang pada waktu itu sebagai pusat studi agama Islam dan tempat berkumpulnya
para ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk menekan berbagai masalah
keagamaan dan keduniaan.[5]
3.
Aceh
Darussalam
Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan
kabupaten Aceh Besar dan disini pula letak ibu kotanya. Anas Mahmud
berpendapat, kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M. diatas puing-puing
kerajaan Lamuri, oleh Muzzafar Syah (1465-1497 M) yang membangun kota Aceh
Darussalam. Menurut H. J. de Graf, kerajaan ini merupakan penyatuan dari dua
kerajaan kecil yaiyu Lamuri dan Aceh Dar al Kamal, raja pertamanya Ali Mughayat
Syah (Ibrahim). Pada masanya ia berhasil menyatukan seluruh daerah Aceh (1507
M) dan meluaskan wilayah kekuasaan ke daerah Pidie, bekerja sama dengan
Portugis sehingga sampai ke Pasai. Pada abad ke-18 M. kesultanan Aceh merupakan
bayangan belaka dari masa silam tanpa kepemimpinn dan kacau balau.[6]
B.
Tumbuh dan Berkembangnya Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa,
Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi.
1.
Kerajaan-kerajaan
Islam di Jawa
a.
Demak
Kerajaan Demak berdiri bersamaan dengan melemahnya kerajaan
Majapahit. Hal ini memberikan peluang pada penguasa-penguasa di pesisir untuk
mendirikan pusat-pusat kekuasaan yang independen. Di bawah pimpinan Sunan Ampel
dan Walisongo sepakat mengangkat Raden Fatah menjadi raja pertama di kerajaan
Demak.
Peran Wali dalam perkembangan kerajaan Demak sangat besar. Hal ini
terbuktu dengan penobatan Raden Fatah menjadi raja pertama di kerajaan Demak,
dalam babad Jawa dikatakan, Raden Fatah masih keturunan raja Majapahit, bahkan
putra terakhit raja Majapahit dari keturunan Ibu dari Campa yang dilahirkan di
Palembang. Dalam kepemimpinan Raden Fatah kerajaan Demak lambat laun menjadi
pusat perkembangan agama Islam oleh para Wali. Raden Fatah memimpin Demak
kurang lebih di akhir abad ke-15 sampai awal abad ke-16 M.
b.
Pajang
Kerajaan ini muncul dari kelanjutan kesultanan Demak. Hal itu
disebutkan dalam serat kandha dan babad tanah Jawa disebutkan sebagaimana
tertulis dalam buku H. J. de Graff dan TH. Pigeaud, raja pertama adalah putra
raja Pengging. Semasa kecil ia bernama Mas Karebet ketika dewasa bernama Jaka
Tingkir.[7]
Jaka Tingkir adalah raja pertama kerajaan Pajang, ia berkuasa
karena mengambil alih kekuasaan yang pada waktu itu kerajaan Demak sedang dalam
kekacauan terjadi pembunuhan sesuhunan Pawoto yang dibunuh oleh Arian
Penangsang penguasa Jipang( Bojonegoro) pada tahun 1456M. Setelah ia
memerintah, menarik semua benda pusaka dipindah ke Pajang, dan ia menjadi raja
yang paling berpengaruh di pulau Jawa ia bergelar Sultan Adiwijaya. Pada masa
pemerintahannya ia memperluas kekuasaan di tanah pedalaman kearah Timur sampai
daerah Madiun, di daerah aliran anak sungai Bengawan Solo yang terbesar.
Setelah itu ia berturut-turut menguasai Blora (1554 M), dan Kediri (1577 M).
pada tahun 1581 M, ia berhasil mendapatkan pengakuan sebagai Sultan Islam dari raja-raja
terpenting di Jawa Timur, pada umumnya hubungan kerato Pajang dengan Keraton
Jawa Timur memang bersahabat.[8]
Selama pemerintahan Sultan Adiwijaya kesusastraan dan kesenian
keraton sudah maju peradabannya. Pengaruh Islam yang kuat di pesisir menjalar dan
tersebar ke daerah pedalaman. Sultan Pajang meninggal di taman kerajaan akibat
kecelakaan oleh juru tamannya (1587 M). Dia digantikan oleh menantunya, Aria
Panggiri anak sesuhunan Parwoto. Sedangkan Pangeran Banawa putra Sultan Pajang
waktu itu masih sangat muda, dijadikan penguasa di Jipang. Namun, pangeran
Banawa tidak puas dengan keberadaanya di Jipang yang masih asing baginya. Ia
meminta bantuan kepada Senopati Mataram untuk mengusir Aria, dan berhasil.
Sebagai ucapan terima kasih, Pangeran Banawa membarikan hak warisnya, namun
Senopati meminta “Pusaka Kerajaan” Pajang. Pada waktu itu Mataram seang dalam
proses menjadi kerajaan besar. Pangeran Banawa dikukuhkan sebagai raja Pajang,
namun di bawah perlindungan kerajaan Mataram. Sejak saat itu Pajang berada di
bawah kekuasaan Mataram.
Kerajaan Pajang berakhir pada tahun 1618 M. kerajaan Pajang
memberontak terhadap Mataram yang pada waktu itu di bawah Sultan Agung,
sehingga Pajang dihancurkan. Raja pajang melarikan diri ke Giri Surabaya.[9]
c.
Mataram
Raja pertama Mataram yakni Ki Pamanahan tidak memakai gelar lebih
besar dari raja Pajang. Dan anaknya memakai gelar Senopati Ing Alaga dan
dipakai seterusnya oleh raja-raja Mataram. Pada abad ke-16 Mataram mengadakan
perluasan wilayah kekuasaan dari Malaka sampai daerah Cirebon. Puncak raja
Mataram berkuasa, yaitu ketika ia menguasai Kerajaan Madiun (1590 M), pada
tahun 1591 M ia nerusaha menduduki Kerajaan Kediri dan membangun tembok
penghalang untuk melindungi diri dari musuh selesai tahun 1592-1593 M. pada
tahun 1598-1599 M mengadakan serangan ke Tuban, setelah selesai peperangan ia
menikahi peteri Raja Madiun (1590 M).
Dari sumber orang Belanda menyatakan bahwa, Panembahan Senopati
berusaha agar kekuasaannya diakui di Banten, tapi sebagai peletak utama kerajaan
Islam di Mataram adalah Panembahan Senopati (1601 M), ia meninggal di Kajenar
(Sragen). Kira-kira 15 tahun kerajaan Mataram diakui oleh raja Jawa Tenagh.
Ekonomi Mataram tergantung sepenuhnya pada pertanian dan juga pada perdagangan,
bidang kebudayaan, factor yang mempertinggi peradaban dari daerah pesisir utara
(Jatim).
d.
Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di Jawa Barat.
Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunang Jati. Diawal abad ke-16 Cirebon masih
merupakan sebuah daerah kecil dibawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Raja
Pajajaran hanya menempatkan juru labuhan disana, bernama Pangeran
Walangsungsang, seorang tokoh yang mempunyai hubungan darah dengan raja
Pajajran. Dia berhasil memajukan Cirebon ketika sudah masuk Islam. Disebutkan
Tome Pires, Islam sudah ada di Cirebon sekitar 1470-1475 M. akan tetapi orang
yang berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kerajaan adalah Syarif
Hidayatullah, pengganti pangeran Walangsungsang dan sekaligus keponakannya.
Dialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian Banten.
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan Islam kedaerah-daerah
lain di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa,
dan Banten. Setelah Syarif Hidayatullah wafat, ia diganti oleh cicitnya yang
terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Dia wafat tahun 1650
M, digantikan oleh puteranya yang diberi gelar Panembahan Gerilaya. Keutuhan
Kerajaan Cirebon sebagai satu kerajaan hanya sampai Pangeran Gerilaya,
sepeninggalannya sesuai dengan kehendaknya sendiri, Cirebon dipimpin oleh dua
puteranya Martawijaya (Samsudin), dan Kartawijaya (Badruddin).
e.
Banten
Kerajaan ini muncul ketika anak muda Pasai keturunan Makkah datang ke
Demak untuk mengabdi kepada Sultan Trenggono. Dia diangkat menjadi panglima
perang, dan mendapat hadiah menikah dengan adiknya Sultan Demak, dia adalah
Syarif Hidayatullah atau Maulana Nuruddin Ibrahim, ayah dari Sultan Hasanuddin
Raja pertama Dari Kerajaan Banten. Keberhasilannya menaklukkan kota Banten maka
diberi gelar dari Sultan Trenggono yaitu Fatahilah oleh bangsa Portugis disebut
Falatehan.
Dalam masa kepemimpinan Fatahilah mencanangkan menguasai
kunci-kunci kota dan menyebarkan agama Islam di kota yang ia duduki. Semua yang
Fatahilah canangkan mencapai pada puncak kesuksesan walaupun beribu halangan.
Dia tidak hanya menguasai kota Banten tapi juga Jakarta, Cirebon dan dia juga
mendapat sebutan penguasa besar Jawa Barat. Fatahilah menyerahkan kekuasaannya
kepada puteranya yaitu Hasanudin. Pada tahun 1568 M disaat kekuasaan Demak
beralih ke Pajang, Hasanudin memerdekakan Banten, dan itulah sebabnya dia
dianggap sebagai raja Islam pertama di Banten.[10]
2.
Kerajaan-kerajaan
Islam di Kalimantan
a.
Kerajaan
Banjar di Kalimantan Selatan
Kerajaan Banjar merupakan kelanjutan kerajaan Daha yang beragama
Hindu. Ini berawal ketika raja Sukarama hampir meninggal dan berwasiat agar yag
menggantikan pemerintahan nanti cucunya Raden Samudera. Tapi keempat puteranya
tidak menerima akan sikap ayahnya karena pada saat itu Raden Samudera masih
berusia tujuh tahun. Pangeran Mangkubumi sebagai anak tertua memegang tahta
kerajaan namun tidak lama ia meninggal karena dibunuh oleh seorang pegwai
istana yang dihasut oleh Pangeran Tumanggung, kemudaan kerajaan Daha dipimpin
oleh Pangeran Tumanggung.
Dalam keadaan seperti itu Pangeran Samudera berkelana ke wilayah
Muara yang diasuh oleh seorang Patih, yaitu Patih Masih. Dalam berkelana ia
menyusun kekuatan untuk melawan pamannya, Pangeran Tumanggung. Dengan bntuan
Patih Masih, Raden Samudera berhasil dalam perlawanan yang pertama. Untuk
penyerangan selanjutnya Patih Masih mengusulkan meminta bntuan kepada Sultan
Demak, Sultan Demak pun menyetujuinya asal dengan syarat Raden Samudera masuk
Islam terlebih dahulu. Akhirnya dengan bantuan Sultan Demak Raden Samudera dan
rakyatnya masuk Islam. Setelah masuk Islam ia diberi nama Pangeran Suryanullah
atau Suriansyah, dan dinobatkan sebagai raja pertama dikerajaan Islam Banjar.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 1526 M, dan yang menjadi Sultan Demak pada
saat itu adalah Sultan Trenggono.
b.
Kerajaan
Kutai di Kalimantan Timur
Menurut risalah Kutai, dua orang penyebar Islam tiba di Kutai pada
masa Pemerintahan raja Mahkota, yaitu Dato’ Ribandang (Tuan di Bandang) dari
Makassar dan tuan Tunggang Parangan. Setelah ekspedisinya berjalan lancer,
Dato’ Ribandang kembali ke Makassar dan tuan Tunggang Parangan tetap menetap di
Kutai. Baru masa ini tuan Tunggang Parangan (Raja Mahkota) tunduk kepada
keimanan Islam. Setelah itu segera dibangun sebuah Masjid dan pengajaran agama
dimulai. Yang mengikuti pengajaran pertama adalah Raja Mahkota, kemudian Pangeran
para Menteri, Panglima, Hulubalang, baru seluruh rakyat kecil.
Sejak saat itu Raja Mahkota berusaha keras menyebarkan Islam.
Proses Islamisasi di Kutai dan daerah sekitarnya berjalan dengan lancar,
terjadi pada tahun 1575 M. kemudian penyebaran dilakukan ke daerah-daerah
pedalaman, terutama pada masa pemerintahan puteranya yaitu Aji di Langgar, dan
pengganti-penggantinya meneruskan perang ke daerah Muara Kaman.[11]
3.
Kerajaan Islam di Maluku
Islam masuk di Maluku di bawa oleh muballigh dari Jawa sejak Zaman Sunan Giri dan dari
Malaka. Raja Maluku yang pertama masuk Islam adalah Sultan Ternate bernama
Mahrum pada tahun 1465-1486 M, atas pengaruh Maulana Husain, saudagar dari
Jawa. Raja Maluku yang terkenal di bidang pemdidikan dan dakwah Islam adalah Sultan
Zainul Abidin, tahun 1486-1500 M.[12]
Karena usia Islam masih muda di Ternate, Portugis yang tiba di sana
tahun 1522 M berharap dapat menggantikan agama Islam degan Kristen. Usaha
mereka hanya mendatangkan hasil yang sedikit,[13]
yakni di daerah Nusa Tenggara Timur. Tokoh missi Khatolik yang pertama di
Maluku ialah Fransiscus Zaverius tahun 1546 M. Sedangkan ketika orang Belanda
yang beragama Kristen Protestan datang di Indonesia, mulai pula usaha
memprotestankan penduduk Indonesia pada awal abad 17 M (1600 M). dan berhasil
di daerah Batak, Manado, dan Ambon.[14]
4.
Kerajaan
Islam di Sulawesi
Kerajaan Sulawesi yang pertama adalah Gowa-Tallo, kerajaan kembar
yang saling berbatasa, biasanya disebut kerajaan Makassar. Kerajaan ini
terletak di Semenanjung Barat Daya pulau Sulawesi, yang merupakan daerah
transit sangat strategis. Sejak Gowa-Tallo tampil sebagai pusat perdagangan
laut, kerajaan ini menjalin hubungan baik Ternate yang telah menerima Islam
dari Gresik atau Giri. Dibawah pemerintahan Sultan Babullah, Ternate mengadakan
perjanjian persahabatan dengan Gowa-Tallo. Ketika itu Raja Ternate berusaha
mengajak raja Gowa-Tallo untuk masuk Islam namun gagal. Baru masa Dato’
Ribanang datang ke Gowa-Tallokerajaan ini menerima kedatangan agama Islam.
Aluddin (1591-1636 M) adalah sultan pertama yang menganut agama Islam (1605 M).
Penyebaran agama Islam setelah itu berlangsung sesuai dengan
tradisi yang telah lama diterima oleh para raja, keturunan To Manurung. Tradisi
ini mengharuskan seorang raja untuk memberitahukan “hal baik” kepada yang lain,
maka “pesan Islam” pun disampaikan kepada kerajaan-kerajaan lainnya, seperti
Luwu, yang lebih tua, Wajo, Soppeng, dan Bone.[15]
C.
Hubungan Politik dan Keagamaan Antara Kerajaan-kerajaan Islam
Hubungan antara satu kerajaan dengan kerajaan lain awalnya memang
terjalin karena persamaan agama. Hubungan itu mulanya, mengambil bentuk
kegiatan dakwah, kemudian berlanjut setelah kerajaan-kerajaan Islam berdiri.
Dalam bidang politik, agama pada mulanya digunakan untuk memperkuat diri dalam
menghadapi pihak-pihak atau kerajaan-kerajaan yang bukan Islam, terutama yang
mengancam kehidupan politik maupun ekonomi. Contohnya, persekutuan
kerajaan-kerajaan Islam dalam menghadapi Portugis dan Kompeni Belanda yang
berusaha memonopoli pelayaran dan perdagangan. Meskipun demikian peperangan
antarkerajaan sering terjadi, misalnya antara Panjang dan Demak, Ternate dan
Tidore, Gowa-Tallo dan Bone. Oleh karena kepentingan yang berbeda diantara
kerajaan-kerajaan itu pula sering satu kerajaan Islam meminta bantuan ke pihak
lain terutama Kompeni Belanda untuk mengalahkan kerajaan Islam lainnya.
Hubungan antar kerajaan-kerajaan Islam lebih banyak terletak pada
bidang budaya dan keagamaan. Samudera Pasai dan Aceh yang dikenal dengan Serambi
Mekkah menjadi pusat pendidikan dan pengajaran Islam. Dari sini
ajaran-ajaran Islam tersebar ke seluruh pelosok. Nusantara melalui karya-karya
ulama dan murid-muridnya yang menuntut ilmu kesana. Demikian pula halnya dengan
Giri di Jawa Timur terhadap daerah-daerah Indonesia bagian timur. Karya-karya
sastera dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam. Tema
dan isi karya-karya itu sering kali mirip antara satu dengan lainnya. Kerajaan
Islam itu telah merintis terwujudnya idiom cultural yang sama yaitu Islam. Hal
ini menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang makin erat.[16]
D.
Tiga pola “Pembentukan Budaya” yang Terlihat Dalam Proses
Pembentukan Negara Aceh, Sulawesi Selatan, dan Jawa
Dalam rentang waktu sejak akhir abad ke-13, ketika Samudera Pasai
berdiri sampai abad ke-17, di istana Gowa-Tallo resmi menganut Islam, menurut
Tayfik Abdullah, setidaknya tiga pola “pembentukan budaya” yang memperlihatkan
bentuknya dalam proses pembentukan negara telah terjadi. Ketiga pola itu
adalah:
1.
Pola
Samudera Pasai
Lahirnya kerajaan Samudera Pasai berlangsung melalui perubahan dari
Negara yang segmenter ke Negara yang terpusat. Sejak awal perkembangannya,
Samudera Pasai menunjukan banyak pertanda dari pembentukan suatu Negara baru.
Kerajaan ini tidak saja berhadapan dengan golongan-golongan yang belum
ditundukan dan diislamkan dari wilayah pedalaman, tetapi juga harus
menyelesaikan pertentangan politik serta pertentangan keluarga yang
berkepanjangan. Dalam proses perkembangannya menjadi Negara terpusat, Samudera
Pasai juga menjadi pusat pengajaran agama. Reputasinya sebagai pusat agama
terus berlanjut walaupun kemudian keduukan ekonomi dan politiknya menyusut.
Dengan pola tersebut Samudera Pasai memiliki “kebebasan budaya”
untuk memformulasikan struktur dan system kekuasaan, yang mencerminkan gambaran
tentang dirinya. Pola yang sama juga dapat disaksikan pada proses terbentuknya
kerajaan Aceh Darussalam.
2.
Pola
Sulawesi Selatan
Pola ini adalah pola islamisasi melalui konversi keraton atau pusat
kekuasaan. Dalam sejarah Islam di Asia Tenggara, pola ini didahului oleh
berdirinya kerajaan Islam Malaka. Proses islamisasi berlangsung dalam suatu
struktur Negara yang telah memiliki basis legitimasi geneologis. Konversi agama
menunjukkan kemampuan raja. Penguasa terhindar dari penghinaan rakyatnya dalam
masalah kenegaraan.
Pola islamisasi melalui konversi keraton atau pusat kekuasaan
seperti itu di Indonesia terjadi juga di Sulawesi Selatan, Maluku dan
Banjarmasin. Tidak seperti Samudera Pasai, islamisasi di Gowa-Tallo, Ternate,
Banjarmasin, dan sebagainya yang mempunyai pola yang sama, tidak memberi
landasan bagi pembentukan Negara. Islam tidak mengubah desa menjadi suatu
bentuk baru dari organisasi kekuasaan, seperti yang terjadi di Samudera Pasai.
Konversi agama dijalankan, tetapi pusat kekuasaan telah ada lebih dahulu.
3.
Pola
Jawa
Di Jawa Islam mendapatkan suatu sistem politik dan struktur
kekuasaan yang telah lama mapan, berpusat di keraton pusat Majapahit.
Sebenarnya komunitas pedagang muslim mendapat tempat palam pusat-pusat politik
pada abad ke-11. Komunitas itu makin membesar pada abad ke-14. Ketika posisi
raja melemah, para saudagar kaya diberbagai kadipaten di wilayah pesisir
mendapat peluang besar untuk menjauhkan diri dari kekuasaan raja. Mereka
kemudian tidak hanya masuk Islam tetapi juga membangun pusat-pusat politik yang
independen. Setelah kraton pusat menjadi goyah, keraton-keraton kecil mulai
bersaing untuk menggantikan kedudukannya. Demak akhirnya berhasil menggantikan
Majapahit. Dengan posisi baru ini Demak tidaka saja menjadi pemegang hegemoni
politik, tetapi juga menjadi “jembatan penyeberangan” Islam yang paling penting
di Jawa.
Tidak seperti pola Samudera Pasai, Islam mendorong pembentukan
Negara yang supra-desa, juga tidak seperi Gowa-Tallo, keraton yang diislamkan,
di Jawa Islam tampil sebagai penantang, untuk kemudian mengampil alih kekuasaan
yang ada. Jadi yang tampil adalah suatu dilemma cultural dari orang baru di
dalam bangunan politik yang lama.[17]
IV.
KESIMPULAN
Dari penjelasan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa
Kerajaan-kerajaan Islam pertama di Sumatera adalah kerajaan Perlak, kerajaan
Samudera Pasai dan kerajaan Aceh Darussalam. Mengenai hubungan antara satu
kerajaan dengan kerajaan lain awalnya memang terjalin karena persamaan agama.
Hubungan itu mulanya, mengambil bentuk kegiatan dakwah, kemudian berlanjut
setelah kerajaan-kerajaan Islam berdiri. Dalam bidang politik, agama pada
mulanya digunakan untuk memperkuat diri dalam menghadapi pihak-pihak atau
kerajaan-kerajaan yang bukan Islam, terutama yang mengancam kehidupan politik
maupun ekonomi. Namun adakalanya peperangan dikalangan kerajaan-kerajaan Islam
sendiri sering terjadi. Tiga pola “Pembentukan Budaya” yang Terlihat Dalam
Proses Pembentukan Negara Aceh, Sulawesi Selatan, dan Jawa yaitu Pola Samudera
Pasai, Pola Sulawesi Selatan, dan Pola Jawa.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat penulis
buat. Apabila ada kekurangan dan kekeliruan dalam penyampaian materi ini,
penulis mohon maaf. Sebagai manusia biasa yang menjadi tempatnya salah dan
lupa, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini.
Untuk kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini dan makalah selanjutnya. Dan harapan penulis, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada
khususnya. Amin…
DAFTAR PUSTAKA
Gajahnata,
O. Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumetera Selatan. Jakarta: UI-Press.
1986.
Syukur , Fatah. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra. 2011.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada. 2003.
Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi
Aksara. 2010.
[1]
Fatah Syukur NC, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2011), hlm. 202
[2]
Fatah Syukur NC, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2011), hlm. 202
[3]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2003), hlm. 205
[4]
K.H.O. Gajahnata, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumetera Selatan,
(Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 16
[5]
Fatah Syukur NC, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2011), hlm. 203.
[6]
Fatah Syukur NC, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2011), hlm. 204-205.
[7]
Fatah Syukur NC, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2011), hlm. 206
[8]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2003), hlm. 213.
[9]
Fatah Syukur NC, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2011), hlm. 206-207.
[10] Fatah Syukur NC, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2011) , hlm. 209-210.
[11]
Fatah Syukur NC, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2011), hlm. 211.
[12]
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2010), hlm. 142
[13]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2003), hlm. 222
[14]
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2010), hlm. 143
[15] Fatah
Syukur NC, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2011), hlm. 212
[16] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 224-225
[17] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 226-228
Tidak ada komentar:
Posting Komentar